Thursday, August 6, 2009

Hutan Bakau Pesisir Pantai Teluk Aru Kritis

Komisi I DPRD Langkat melihat kondisi hutan bakau (mangrove) di pesisir pantai kondisinya masuk tahapan kritis dan membahayakan, akibat alih fungsi lahan. Pemkab didesak, segera menertibkan praktik yang terjadi secara ilegal itu.

“Komisi I mendesak agar pemkab Langkat segera menertibkan pengalih fungsian hutan pantai jadi lahan perkebunan kelapa sawit yang terjadi secara ilegal,” kata Ketua Komisi I DPRD Langkat A Syahri Chan kepada wartawan di Stabat, kemarin.

Menurut dia, ketika Komisi I melakukan kunjungan mendadak beberapa waktu lalu ke sejumlah desa di Kecamatan Brandan Barat, melihat langsung kondisi hutan pantai sudah kritis dan memprihatinkan. Dikhawatirkan, bila Pemkab terus melakukan pembiaran terhadap akan terjadi bencana besar menimpa masyarakat desa pantai.

Hebatnya lagi, sebut dia, tidak tertutup kemungkinan Desa Perlis (Brandan Barat) akan mengalami hal serupa seperti yang terjadi terhadap Desa Tapak Kuda (Kec Tanjung Pura) tenggelam ditelan laut.

Syahri yang didampingi anggota Komisi I lainnya, Sukri Munir, Bari, Thahrulli Sani menjelaskan, hasil kunjungan ke beberapa desa pantai di Kecamatan Brandan Barat pada 4 Juni lalu bersama Camat Ibnu Hajar, Kades Lubuk Kertang, Kelurahan Pangkalan Batu dan, Kades Lubuk Kasih, menemukan adanya pengalihan hutan pantai menjadi areal perkebunan kelapa sawit oleh para pemodal kuat.

Di Desa Lubuk Kertang saja, tambah Sukri, didapati satu perusahaan atas nama PT S telah mengalih fungsikan hutan mangrove seluas 1000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Sesuai keterangan Kades dan Camat di sana, penguasaan lahan itu dilakukan secara ilegal, bahkan izin lingkungan hidup dan prinsifnya juga tidak ada.

“Sayangnya, sebagaimana pengakuan camat, Pemkab tidak pernah melayangkan surat larangan atau perintah pemberhentian terhadap kegiatan perusahaan tersebut,” heran Sukri.

Penghancuran dan pengalih fungsian hutan yang sama dan untuk perkebunan serupa juga ditemukan Komisi I di Kelurahan Pangkalan Batu, Bahkan, berdasarkan informasi diperoleh Komisi I, disebutkan jika status kepemilikan lahan juga illegal, kata Syukri.

Parahnya lagi, sebut Sukri, kondisi serupa juga ditemukan di Desa Lubuk Kasih. Lagi-lagi, ada sebuah perusahaan telah mengkavling hutan bakau seluas 300 hektar dan separoh lahan itu telah ditanami kelapa sawit oleh pemiliknya.

“Menurut keterangan camat dan kades kepada kami (Komisi I) ketika itu, perambah dan pengalih fungsi hutan pantai itu bernama SB, caleg DPRD Sumut dari Partai Demokrat yang terpilih pada Pileg lalu,” kata Sukri.(***)


Sumber : Harian Suara Sumut

DPRD Langkat Rekomendasikan PLTU Dit

DPRD Langkat merekomendasikan Pemkab untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sedang dibangun di Pangkalan Susu, karena dinilai lebih menonjol kerugiannya daripada manfaatnya ke masyarakat Langkat.

Alasan itu dikemukakan Ketua DPRD Langkat, H Syafruddin Basyir, kepada wartawan menyusul pencermatan yang dilakukan pihaknya atas aspirasi masyarakat dan temuan legislatif di beberapa aspek.

“Kehadiran PLTU ternyata memberikan keprihatinan cukup besar kepada masyarakat, nah akibatnya masyarakat Langkat lah yang nantinya menahankan akibatnya,” kata Basyir saat dihubungi, Rabu (1/7).

Tokoh Golkar ini menjelaskan, kajian berdasarkan tinjauan lapangan pihaknya (legislatif) menemukan beberapa kejanggalan diantaranya tentang perizinan serta dampak negatif ditimbulkan di lokasi pembangunan PLTU.

Ironisnya, sambung dia, untuk proyek besar seperti pembangunan PLTU itu, perizinannya sama sekali tidak ada. Makanya, Pemkab diminta responsif untuk hal itu. Sebab, bukan tidak mungkin dari hal sepele seperti dalam pengurusan izin menyebabkan Pemkab akan terus dilecehkan.

Contoh lainnya, ucap Basyir, pembangunan PLTU tersebut menyebabkan rusaknya tempat penangkaran udang yang dibiayai APBD Langkat Rp1,2 miliar dan praktis tak dapat digunakan lagi, padahal tempat penangkaran baru saja dibangun. Selain itu, juga mengakibatkan rusaknya kawasan hutan disana.

Sejatinya dalam pembangunan itu, Pemkab melakukan pengkajian mendalam diantaranya mengenai keberadaan pipa-pipa milik PT Pertamina dilokasi itu. Bahkan, bukan tidak mungkin dalam pembangunan itu terjadi insiden sebabkan bocornya pipa dimaksud dan akibatnya menyebabkan rakyat sengsara. Apalagi, saat ini pipa-pipa tersebut sudah terancam hancur terutama di jalan masuk proyek PLTU.

Persoalan lain yang tak kalah menariknya, tentang bekas galian C atau untuk tanah timbun disekitar proyek PLTU sekarang ini dibiarkan menganga (terbuka). Diketahui, untuk penggalian itu dibolehkan (benarkan) hanya 1,6 Ha tetapi kenyataannya dilapangan ditemukan 2,6 Ha.

“Kalau kita berbicara tentang penyerapan tenaga kerja, sudah contoh kasusnya ketika PT Pertamina dahulu. Banyakan pekerja (Pertamina), asalnya juga dari luar dan tidak ada istilah mengistimewakan putra Langkat,” beber Basyir ketika disinggung tentang tenaga kerja dari Langkat.

Karenanya, Basyir mengisyaratkan (rekomendasikan) kepada Pemkab agar secepatnya menutup PLTU tersebut. Guna menghindari, beragam contoh kasus seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur.

Widodo salah seorang staf PLTU yang berhasil dihubungi wartawan menjelaskan, pihaknya sudah mengetahui adanya rekomendasi dikeluarkan DPRD Langkat tersebut. Bahkan, dirinya menantang DPRD Langkat yang terkesan hanya berasumsi. Pasalnya, seluruh perizinan (prinsip) sedang dalam proses karena urusannya lintas departemen.(***)

Sumber : Harian Suara Sumut