Monday, July 18, 2011

Tapteng Ternyata Kaya; 1.057 Ha Lahan Mengandung Emas dan Perak

Tapanuli Tengah, (Analisa)

Tapanuli Tengah yang selama ini hanya dikenal sebagai kabupaten penghasil ikan terbesar di kawasan pantai barat Sumatera Utara, ternyata kaya akan emas dan perak.

Hal itu baru terungkap setelah adanya upaya eksplorasi dilakukan oleh salah satu perusahaan tambang emas dan perak yang selama ini beroperasi di Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, PT Agincourt Resource.

Hasil eksplorasi mereka, terdapat 1.057 hektar lahan mengandung potensi emas dan perak yang cukup potensial di Desa Anggoli, Kecamatan Sibabangun, Tapteng dan beberapa daerah di Kecamatan Pinangsori. Dari hasil eksplorasi awal, rata-rata kandungan emas yang ada di dua kecamatan tersebut mencapai enam gram per hektar, demikian juga perak.

Superintendent Eksplorasi Regional PT Agincourt Resource, Ir Dunan Madong Siregar dikonfirmasi Analisa di gedung dewan Tapteng usai pertemuan dengan pihak DPRD dan Pemkab Tapteng mengatakan, hasil eksplorasi permukaan tanah yang dilakukan di Desa Anggoli Kecamatan Sibabangun dan beberapa kawasan di Kecamatan Pinangsori, pihaknya menemukan potensi kandungan emas dan perak yang cukup lumayan, bahkan diperkirakan akan lebih besar daripada yang mereka temukan di Batangtoru.

"Dari hasil penelitian dan eksplorasi permukaan tanah yang kami lakukan di beberapa kawasan tepat di Desa Anggoli dan Pinangsori, kami menemukan adanya potensi kandungan emas dan perak yang cukup menjanjikan. Di Desa Anggoli terdapat 709 hektar lahan yang memiliki kandungan emas dan perak, sedangkan di Pinangsori itu ada 348 hektar lahan yang kami perkirakan. Namun jumlah kandungan pastinya kami belum tahu pasti, karena kami harus terlebih dahulu melakukan eksplorasi bawah tanah," terang Dunan.

Namun dari perkiraan temuan awal, lanjutnya, potensinya cukup besar yakni berkisar enam gram per ha, bahkan kemungkinan bisa lebih besar jumlahnya daripada yang ada di Batang Toru yang pada akhir 2011 ini akan mulai dieksploitasi (diambil hasilnya) atau yang ada di Pahae Kabupaten Taput. "Yang menjadi kendala saat ini adalah biaya untuk melakukan ekplorasi bawah tanah ini yang cukup besar, karena harus menggali tanah cukup dalam dengan peralatan yang mahal. Sekarang kami lagi menunggu peralatannya, supaya eksplorasi bawah tanah bisa segera dilakukan. Apalagi izinnya dari Pemkab Tapteng pun sudah keluar," tuturnya.

Dikatakan, selama ini pihaknya baru melakukan eksplorasi di dua kawasan saja, yakni di Anggoli dan Pinangsori dengan hasil yang cukup menjanjikan. Menurutnya, tak tertutup kemungkinan kandungan emas dan perak maupun bahan tambang berharga lainnya juga terdapat di berbagai kawasan lain di Tapteng.

"Yang baru kami eksplorasi hanya di kawasan itu, belum ke daerah lain. Jika di dua kawasan itu terdapat potensi emas dan perak yang cukup menjanjikan, tak tertutup kemungkinan di kawasan lain di kecamatan-kecamatan yang ada di Tapteng kandungan logam mulia seperti emas, perak maupun bahan tambang berharga lainnya juga ditemukan. Kalau nantinya pihak PT Agincourt memrogramkan, tentunya dengan seizin Pemkab Tapteng, kami akan eksplorasi serupa di daerah lain," tuturnya.

Selain kawasan Kabupaten Tapanuli Tengah, wilayah Tapanuli Utara juga memiliki kandungan emas khususnya di Kecamatan Pahae, dengan luas lahan sekitar 300-an ha. "Jadi selain Batangtoru dan Tapteng, Taput juga memiliki potensi emas dan perak di sekitar Kecamatan Pahae. Dari eksplorasi awal kami, terdapat sekitar 300-an hektar lahan di sana berpotensi mengandung emas dan perak," jelasnya.

Dunan Madong Siregar yang menghabiskan lebih dari 20 tahun bekerja di pertambangan emas di Kalimantan Timur ini mengaku, awalnya terkejut saat dipanggil perusahaan tempatnya bekerja, yakni PT Agincourt untuk bertugas di Batangtoru, Tapsel yang merupakan kampung halamannya.

"Saya terkejut karena selama ini tak ada yang memperkirakan di Sumatera Utara ini terdapat kandungan emas dan perak, kalau batubara atau minyak mentah, memang ya banyak. Buktinya, kenapa dari dahulu tidak ada pihak yang melakukan penambangan emas dan perak di Sumut, karena mungkin para ahli belum melihat potensinya. Tapi setelah saya terjun langsung melakukan eksplorasi, ternyata kandungan emas dan perak, khususnya di Tapsel, Tapteng dan Taput cukup banyak serta menjanjikan. Jika potensi ini bisa dikelola dan dimanfaatkan, saya yakin kawasan ini akan lebih maju dimasa yang akan datang," harapnya. (yan)

Analisa

Wednesday, July 6, 2011

Sejarah Pankalan Brandan

Pangkalan Berandan adalah ibukota Kecamatan Babalan, Kecamatan Sei. Lepan, Kecamatan Brandan Barat, dan Kecamatan Brandan Timur, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera, sekitar 60 km di sebelah utara Kota Binjai. Kelurahan ini terletak strategis karena dilalui oleh Jalan Raya Lintas Sumatera dan merupakan pintu gerbang provinsi Sumatera Utara relatif dari Aceh.

Pangkalan Brandan terkenal karena merupakan salah satu ladang minyak tertua di Indonesia dan telah dieksplorasi sejak zaman Hindia Belanda.

Kronologi sejarah
•1883 - Konsesi pertama eksploitasi minyak bumi diberikan oleh Sultan Langkat kepada Aeilko J. Zijlker, tepatnya di daerah Telagasaid.
•1885 - Produksi pertama minyak bumi dari perut bumi Pangkalan Brandan.
•1892 - Kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksplotasi mulai melakukan produksi massal.
•1947 - Tanggal 13 Agustus, peristiwa Brandan Bumi Hangus sebagai salah satu strategi pejuang sebagai bentuk perlawanan terhadap agresi Belanda.


ASAL MUASAL NAMA PANGKALAN BERANDAN

BERANDAN atau Pandan adalah sejenis tumbuhan, dari situlah dipanggil Pengkalan Berandan, yang terletak di Kecamatan Berandan Barat dalam pemerintahan Kebupaten Langkat. Daerah Kabupaten Langkat terletak pada 3014’ & 4013’ lintang utara, serta 93051’ & 98045’ bujur Timur dengan batas-batas sebelah utara dengan selat Melaka dan Propinsi D.I.Aceh. Selatan berbatas dengan Dati II karo, timur dengan Dati II Deli Serdang, juga barat dengan Dati D.I Aceh (Aceh Tengah).

Pengkalan di pinggir Sungai Bebalan yang mengalir ke Laut Selat Melaka, dipenuhi rumah-rumah nelayan yang tidak teratur, menambah seri dan indahnya panorarama di situ. Laut yang bergelombang tenang, bayu yang menyapu muka, bersih, sejuk dan menyegarkan.

Menurut sejarah, pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang, Kabupaten Langkat masih berstatus keresidenan dan kesultanan (kerajaan). Pimpinan pemerintahan disebut Residen dan berkedudukan di Binjai dengan Residennya Morry Agesten. Residen mempunyai wewenang mendampingi Sultan Langkat di bidang orang-orang asing saja, sedangkan bagi orang-orang asal atau pribumi, berada ditangan pemerintahan kesultanan Langkat.

Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh Sultan Haji Musa Almahadamsyah 1865-1892, Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah 1893-1927 dan Sultan Mahmud 1927-1945/46. Dibawah pemerintahan Kesultanan dan Assisten Residen, struktur pemerintahan disebut ‘luhak’ Di bawah luhak disebut Kejuruan (Raja kecil) dan Distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (Raja kecil Karo) yang berada didesa.

Pemerintahan luhak dipimpin secara Pangeran, pemerintahan kejuruan dipimpin seorang Datuk. Pemerintahan distrik dipimpin seorang Kepala Distrik. Untuk jabatan kepala kejuruan dan Datuk hendaklah dipegang oleh penduduk asal yang pernah menjadi raja didaerahnya. Pemerintahan Kesultanan di Langkat telah dibahagi atas 3 kepala Luhak.
Pada awal 1942, kekuasaan pemerintah kolonial Belanda beralih ke pemerintahan Jepun, namun sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan, hanya sebutan Keresidenan berubah menjadi SYU, yang dipimpin oleh Syucokan. Afdeling diganti dengan Bunsyu dipimpin oleh Bunsyuco. Kekuasaan Jepun ini berakhir pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17-08-1945.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Sumatera dipimpin oleh seorang Gubernur iaitu Mr.T.M.Hasan, sedangkan Kabupaten Langkat tetap dengan status keresidenan dengan asisten residennya atau kepala pemerintahannya dijabat oleh Tengku Amir Hamzah, yang kemudian diganti oleh Adnan Nur Lubis dengan sebutan Bupati. Pada tahun 1947-1949, terjadi agresi militer Belanda I, dan II, dan Kabupaten Langkat terbagi dua.

Yaitu pemerintahan Negara Sumatera Timur (NST) yang berkedudukan di Binjai dengan kepala Pemerintahannya Wan Umaruddin dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedudukan di Pangkalan Berandan, dipimpin oleh Tengku Ubaidulah. Berdasarkan PP No.7 Tahun 1956 secara administratif Kabupaten Langkat menjadi daerah otonomi yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan kepala daerahnya (Bupati) Netap Bukit.

BERANDAN BUMI HANGUS dalam Sejarah

Membicarakan Sumur Minyak Telaga I tidak bisa lepas dengan Kilang Minyak Pangkalan Brandan. Keduanya saling berkaitan. Catatan sejarah perjuangan bangsa juga melekat di sini.

Kilang Pangkalan Brandan yang dikelola Unit Pengolahan (UP) I Pertamina Brandan, merupakan salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia, delapan lainnya adalah, Dumai, Sungai Pakning, Musi (Sumatera), Balikpapan (Kalimantan), Cilacap, Balongan, Cepu (Jawa), dan Kasim (Papua).

Ketika dibangun N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 1891 dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892, kondisi Kilang minyak Pangkalan Brandan, tentu saja tidak sebesar sekarang ini. Waktu itu peralatannya masih terbilang sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil.

Bandingkan dengan kondisi sekarang, kilang yang berada di Kecamatan Babalan Langkat saat ini berkapasitas 5.000 barel per hari, dengan hasil produksi berupa gas elpiji sebanyak 280 ton per hari, kondensat 105 ton per hari, dan beberapa jenis gas dan minyak.

Nilai sejarah kilang ini terangkum dalam dua aspek. Aspek pertama adalah memberi andil bagi catatan sejarah perminyakan Indonesia, sebab minyak pertama yang diekspor Indonesia bersumber dari kilang ini.

Momentum itu terjadi pada 10 Desember 1957, yang sekarang diperingati sebagai hari lahir Pertamina, saat perjanjian ekspor ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo dengan Harold Hutton yang bertindak atas nama perusahaannya Refining Associates of Canada (Refican). Nilai kontraknya US$ 30.000.

Setahun setelah penandatanganan kontrak, eskpor dilakukan menuju Jepang dengan menggunakan kapal tanki Shozui Maru. Kapal berangkat dari Pangkalan Susu, Langkat, yang merupakan pelabuhan pengekspor minyak tertua di Indonesia. Pelabuhan ini dibangun Belanda pada tahun 1898.

Bumi Hangus

Sedangkan aspek kedua adalah nilai perjuangan yang ditorehkan putra bangsa melalui kilang ini. Kisah heroiknya berkaitan dengan Agresi Militer I Belanda 21 pada Juli 1947, yakni aksi bumi hangus kilang.

Aksi bumi hangus dilaksanakan sebelum Belanda tiba di Pelabuhan Pangkalan Susu, yakni pada 13 Agustus 1947. Maksudnya, agar Belanda tidak bisa lagi menguasai kilang minyak itu seperti dulu. Selanjutnya, aksi bumi hangus kedua berlangsung menjelang Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Tower bekas aksi bumi hangus itu masih dapat dilihat sampai sekarang.

Nilai histrois yang terkandung dalam aksi bumi hangus ini, terus diperingati sampai sekarang. Pada 13 Agustus 2004 lalu, upacara kecil dilaksanakan di Lapangan Petrolia UP I Pertamina Brandan, yang kemudian disekaliguskan dengan dekralasi pembentukan Kabupaten Teluk Aru, sebagai pemekaran Kabupaten Langkat.

Sebenarnya Belanda yang pertama sekali mempelopori aksi bumi hangus kilang Brandan. Karena menderita kalah perang, tentara Belanda membakar habis kilang ini pada 9 Maret 1942 sebelum penyerbuan tentara Jepang ke Tanah Air. Aksi serupa juga terjadi pada kilang minyak lainnya di Indonesia.

Namun, Jepang ternyata bisa memperbaiki kilang-kilang tersebut dalam tempo singkat. Bahkan ahli-ahli teknik konstruksi perminyakan yang tergabung dalam Nampo Nen Rioso Butai, unit dalam angkatan darat Jepang, mampu memproduksi kembali minyak mentah, bahkan mendapatkan sumur-sumur produksi baru.

Catatan yang ada menunjukkan, produksi minyak bumi Indonesia tahun 1943, saat Jepang berkuasa, hampir mencapai 50 juta barel. Sedangkan produksi sebelumnya pada 1940 adalah 65 juta barel. Hasil kilang pada 1943 sebesar 28 juta barel. Sedangkan pada tahun 1940 mencapai 64 juta barel.

Kembali ke kilang Brandan, seiring dengan kekalahan Jepang, kilang juga kembali mengalami kehancuran. Puluhan pesawat pembom Mustang milik sekutu melancarkan serangan untuk melumpuhkan basis logistik dan minyak yang telah dikuasai Jepang. Kejadian itu berlangsung pada 4 Januari 1945.

Jejak Sumur Minyak Pertama di Indonesia
Sebuah pertempuran hebat berlangsung di laut lepas antara Semenanjung Melayu dan pantai Aceh sekitar abad enam belas. Saling berhadapan, antara pejuang pejuang Aceh dan armada Portugis pimpinan Laksamana Alfonso D’Albuquerque yang berencana mendarat ke Aceh dalam rangka ekspansi pencarian rempah-rempah. Bola-bola api berterbangan dari kapal-kapal milik pejuang Aceh. Api pun membakar dua kapal Portugis, dan tenggelam!

Bola-bola api yang menjadi senjata utama rakyat Aceh dalam peperangan di laut tersebut, adalah gumpalan kain yang telah dicelupkan ke dalam cairan minyak bumi. Setelah dinyalakan, lantas dilentingkan ke arah kapal Portugis itu.

Sebuah catatan lain menyebutkan, pada tahun 1972 telah datang utusan kerajaan Sriwijaya ke negeri Cina. Utusan Sriwijaya itu membawa beragam cinderamata sebagai tanda persahabatan, termasuk juga membawa berguci-guci minyak bumi yang khusus dihadiahkan untuk Kaisar Cina.

Oleh orang Cina dimanfaatkan sebagai obat penyakit kulit dan rematik. Begitu juga dengan nenek moyang kita, di samping memakai cairan itu sebagai bahan bakar lampu penerang, pun memakainya untuk obat terhadap gigitan serangga, penyakit kulit dan beragam penyakit lain.

Kisah heroik pejuang Aceh dan muhibah utusan Sriwijaya tadi, merupakan kisah tentang awal mula diketahui adanya minyak bumi di Indonesia. Tetapi sejarah perminyakan di Indonesia, tidak terjadi Aceh atau Sumatera Selatan tempat Kerajaan Sriwijaya berada. Justru Sumatera Utara yang beruntung mencatat sejarah sebagai daerah tempat sumur minyak pertama ditemukan.

Persisnya sumur minyak pertama itu berada di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Desa Telaga Said sendiri merupakan sebuah desa kecil yang, berada dalam areal perkebunan kelapa sawit. Pekerjaan utama masyarakatnya adalah buruh perkebunan. Dengan tingkat penghasilan yang rendah, maka dapat dikatakan taraf penghidupan ekonomi di desa ini rendah.

Tugu 100 Tahun
Perjalanan menuju lokasi sumur minyak pertama di Desa Telaga Said, cukup melelahkan. Dari Medan butuh waktu dari Medan menuju Pangkalan Brandan, salah satu kecamatan utama Kabupaten Langkat. Dari Brandan ini, jarak perjalanan sekitar 20 kilometer lagi menuju Desa Telaga Said, melewati perkebunan sawit dan karet. Memasuki jalanan desa, kesunyian mulai terasa. Kendaraan jarang berlalu-lalang. Lantas pada sebuah pertigaan, sebuah tugu akan terlihat agak mencolok di sebelah kiri jalan. Tugu itu adalah peringatan 100 tahun perminyakan Indonesia. Tugu itu sendiri berbentuk semi silinder dengan tinggi sekitar dua meter, yang dibalut dengan marmer hitam. Pada bagian tengah tugu, di bawah logo Pertamina, terdapat tulisan, “Telaga Tunggal 1885 -1985”. Prasasti yang terdapat di sebelahnya bertuliskan, Tugu Peringatan 100 Th Industri Perminyakan Indonesia. Diresmikan Tgl 4 Oktober 1985, oleh Ir Suyetno Patmosukismo, Pimpinan Umum Daerah Pertamina Sumatera Bagian Utara.

Pada satu sisi, tugu minyak ini menjadi pertanda sumur minyak pertama sudah semakin dekat. Tetapi pada sisi lain, juga menandakan, akan segera berakhirnya jalan beraspal hotmix. Sekitar 20 menit berikutnya, memasuki tikungan yang ke kiri, jalan yang akan dilalui sudah tidak beraspal lagi karena telah tergerus. Debu beterbangan saat mobil melintas. Hujan sehari sebelumnya membentuk kolam-kolam kecil di tengah jalan.
Lokasi sumur minyak pertama itu sendiri dapat ditemui setelah berjalan kaki sekitar 200 meter dari lokasi tempat mobil dapat diparkirkan. Berjalan agak menanjak sedikit, selanjutnya akan didapati sebuah plang yang menjelaskan tentang riwayat singkat sumur pertama tersebut.

“Di sini telah dibor sumur penghasil pertama di Indonesia. Nama Sumur Telaga Tunggal. Ditajak 15 Juni 1885. Kedalaman 121 meter. Hasil minyak 180 barrel perhari dari lima lapisan batu pasir dengan formasi baong. Lapangan ditinggalkan tahun 1934.”

Dekat plang itu akan ditemukan ujung poipa besi bekas aliran minyak. Pipa itu terselebung semak belukar, pertanda areal ini memang tidak dirawat sebagaimana mestinya. Sebuah gundukan tanah terlihat di dekatnya. Gundukan itu diyakini sebagai kuburan Said, yakni petugas pengeboran yang hilang sewaktu melakukan pekerjaannya membangun sumur minyak pertama. Kuburan itu dikeramatkan, dan beberapa warga mengaku pernah melihat rambut Said di sekitar sumur itu.

Andil Aeliko Janszoon Zijlker
Penemu sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker. Dia ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Penemuan itu sendiri merupakan buah perjalanan waktu dan ketabahan yang mengagumkan. Prosesnya dimulai setelah Zijlker mengetahui adanya kemungkinan kandungan minyak di daerah tersebut.
Lantas dia menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu dana diperoleh, perizinan pun diurus. Persetujuan konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa, diperoleh pada 8 Agustus 1883.

Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker. Tetapi bukan di tempat sumur minyak pertama itu, melainkan di daerah yang belakangan disebut sebagai sumur Telaga Tiga. Memang dari proses pengeboran di Telaga Tiga diperoleh minyak mentah (crude oil), tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Hingga tanggal 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak.

Namun Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang berada di sebelah timur. Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan Brandan, sehingga bisa mencari lebih banyak titik pengeboran.

Pilihan kedua jatuh ke Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga. Usaha memupus rintangan struktur tanah yang keras itu, akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter! Jumlah itu terus bertambah hingga pada 15 Juni 1885, ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas dari dalam berikut minyak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I.

Penemuan sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company.

Bukan yang Pertama
Aeliko Janszoon Zijlker memang bukan orang pertama yang melakukan pengeboran minyak di Indonesia. Bahkan pada saat yang hampir bersamaan dengan Zijlker, seorang Belanda lainnya Kolonel Drake, juga tengah melakukan pencarian ladang minyak di Pulau Jawa, namun Zijlker mendahuluinya. Jauh sebelum itu, pada tahun 1871, seorang Belanda lainnya, Jan Reerink menjadi orang pertama yang membor bumi Nusantara untuk mencari emas hitam. kendatipun usahanya tidak berhasil. Reerink mencoba peruntungannya di Cibodas Tangat, Kecamatan Majalengka, Jawa Barat. Karena kurang pengalaman dan peralatan yang minim pemboran hanya berhasil mencapai kedalaman 33 meter. Tahun 1872 pemboran dihentikan karena banyaknya longsoran tanah.

Pemboran di lokasi kedua yang jaraknya sekitar semeter dari lubang pemboran pertama, berhasil menemukan minyak pada kedalaman mencapai 22 meter. Namun sepanjang tahun 1872 itu, mimnyak yang berhasil ditemukan tak lebih dari 6.176 kilogram saja. Usaha itu dinyatakan gagal total pada 16 Desember 1974, setelah berkali-kali gagal.

Namun kegagalan itu akhirnya dituntaskan Zijlker. Semburan minyak dari Sumur Telaga I jadi momentum pertama keberhasilan penambangan minyak di Indonesia. Nama Aeliko Janszoon Zijlker pun tercatat dalam Sejarah Pertambangan dan Industri Perminyakan Indonesia, sebagai penemu sumur minyak pertama dalam sejarah perminyakan di Indonesia yang telah berberusia 119 tahun hingga saat ini.

Telaga Tunggal I itu sendiri akhirnya akhirnya berhenti operasi pada tahun 1934 setelah habis minyaknya disedot pemerintah Belanda yang mengelola ladang minyak ini melalui perusahaan Bataafsche Petroleum Matschappij

5 Warga Tertembak saat Penggusuran di TNGL Sumatera Utara

TRIBUNNEWS.COM, KUALA SIMPANG – Penggusuran yang dilakukan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BB TNGL) di Sumatera Utara terhadap pengungsi eks konflik Aceh akhirnya memakan korban.

Lima pengungsi asal Aceh dan anggota kelompok tani setempat terkena tembakan peluru aparat keamanan saat mereka melawan upaya penggusuran di Desa Sei Minyak, Kecamatan Sei Lepan, Besitang, Kabupaten Langkat, Sumut, Senin (27/6/2011).

Namun, tembakan itu tak mengakibatkan jatuhnya korban tewas.

Penggusuran yang sudah beberapa kali tertunda itu berhasil merobohkan empat rumah warga. Tapi aksi tersebut mendapat perlawanan dari pengungsi dan warga setempat.

Mereka menggempur tim penggusur menggunakan batu dan kayu. “Akibatnya, aparat kepolisian melepaskan gas air mata bahkan tembakan ke arah pengungsi,” lapor Direktur Lembaga Advokasi Hutan Lestari (Lembahtari), Sayed Zainal kepada Serambi (Tribunnews.com Network), Senin (27/6/2011).

Menurut Sayed, tiga warga terkena tembakan peluru tajam di bagian belakang tubuhnya. Dua lagi terkena tembakan peluru tajam di kaki dan dada. Tiga warga juga ditangkap dan mendapat penyiksaan walaupun saat ini sudah dilepas kembali.

Pascakejadian, kata Sayed, kelima korban yang tertembak sudah dievakuasi untuk mendapat perawatan di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Susu, Sumut.

Sayed melukiskan, penggusuran yang dilakukan BB TNGL itu dikawal oleh aparat kepolisian dan TNI. Sebelum penggusuran dimulai, pengungsi sepakat melakukan dialog dengan pihak TNGL dan aparat kepolisian dari Polres Langkat.

Dialog awalnya direncanakan pukul 10.00 WIB di salah satu sekolah di Sei Minyak, sekitar dua kilometer dari rumah warga yang digusur pasukan gajah TNGL.

Namun, saat warga sudah lama menunggu, tiba-tiba alat berat dan pasukan gajah TNGL menggusur empat rumah warga di Simpang Tiga Tower Desa Sei Minyak.

Kapolres Langkat juga dilaporkan kakinya terkena lemparan batu. Seorang anak buahnya terluka bibirnya akibat dilempar pengungsi.
Sayed menambahkan, penggusuran itu mendapat perlawanan dari sekitar 4.000 warga yang menghuni kawasan TNGL.

Warga meminta TNGL menghentikan penggusuran terhadap rumhttp://www.blogger.com/img/blank.gifah dan kebun mereka. Tapi TNGL tetap bersikeras melakukan penggusuran. Setelah melihat kondisi yang tak menguntungkan, akhirnya Kapolres menghentikan sementara operasi penggusuran.

“Jika TNGL memaksa terus melakukan penggusuran, dipastikan akan bertambah korban di pihak warga. Soalnya, mereka telah siap mati untuk mempertahankan haknya,” ujar Sayed Zainal.

Hingga berita ini diturunkan sekitar pukul 17.00 WIB kemarin, aparat keamanan dari unsur TNI dan Polri bersama pasukan gajah dan wana (semacam polisi hutan) dengan sembilan alat berat sudah menarik diri dari lokasi penggusuran. Warga pun sudah kembali ke rumahnya.

Tribun News

Relokasi Eks Pengungsi Korban Konflik Aceh di TNGL

Keberadaan eks pengungsi korban konflik Aceh yang masih bermukim di dalam kawasan TN Gunung Leuser khususnya di Resort Sekoci dan Sei Lepan Kabupaten Langkat telah menyebabkan degradasi/kerusakan hutan TN Gunung Leuser seluas ± 22.100 hektar dan hal ini telah menimbulkan masalah kerusakan ekosistem yang mengancam lingkungan secara luas.

Permasalahan eks pengungsi korban konflik Aceh di kawasan TNGL yang terjadi hampir 11 (sebelas) tahun (1999 s/d 2011) telah menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat sekitar, disamping itu dimanfaatkan dan dijadikan tameng bagi para pelaku perambahan untuk melakukan aktivitas illegal (perambahan dan illegal logging serta praktek spekulan tanah dengan melakukan aksi jual beli lahan di kawasan TNGL).

Keseluruhan jumlah eks. Pengungsi Korban Konflik Aceh yang bermukim di dalam kawasan TN. Gunung Leuser wilayah Kabupaten langkat Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak ± 455 KK yang tersebar di 3 (tiga) titik yaitu Barak Induk (300 KK), Damar Hitam (51 KK), Sei Minyak (104 KK).

Pada Selasa tanggal 22 Maret 2011 Balai Besar TNGL dalam rangka merelokasi eks pengungsi korban konflik aceh memberangkatkan ke Desa Muara Medak Kec. Bayung Lencir Kab. Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 16 (enam belas) kepala keluarga atau sejumlah 46 (empat puluh enam) jiwa yang terdiri dari :

1. Laki-laki

- Umur 17 s/d 40 tahun : 10 orang.

- Umur 41 s/d 60 tahun : 4 orang.

- Umur diatas 60 tahun : – orang.

2. Perempuan

- Umur 17 s/d 40 tahun : 11 orang.

- Umur 41 s/d 60 tahun : 3 orang.

- Umur diatas 60 tahun : – orang.

3. Anak-anak

- Umur 0 s/d 11 bulan : – orang.

- Umur 1 s/d 5 tahun : 7 orang.

- Umur 6 s/d 17 tahun : 11 orang.

Sisanya sejumlah ± 351 KK (Barak Induk 300 KK dan Damar Hitam 51 KK, karena di Sei Minyak sudah habis dari eks pengungsi korban konflik Aceh) kami berharap dapat terus melakukan proses relokasi secara bertahap dengan dukungan dari semua pihak baik pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten) maupun swasta, dan LSM.

Dalam rangka penyelamatan kawasan konservasi TNGL, untuk masyarakat eks pengungsi yang bersedia akan ditindaklanjuti dengan program relokasi yang telah dicanangkan pemerintah (MEMKOKESRA, MENAKERTRANS, BNPB, dll). Dan untuhttp://www.blogger.com/img/blank.gifk pelanggar hukum dan ataupun perambah untuk dapat segera meninggalkan kawasan atas nama hukum. Selanjutnya perlu secepatnya implementasi rehabilitasi kembali dengan melibatkan seluruh komponen khususnya masyarakat setempat.

Dalam hal ini kami Balai Besar TNGL mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Gubernur Sumatera Utara, KAPOLDA SUMUT, PANGDAM I BB, Kepala BPBD SUMUT, Bupati Langkat, DPRD Kab. Langkat, KAPOLRES Langkat, DANDIM Langkat, Kepala Dinas Kehutanan Kab. Langkat, DANYONIF 8 Marinir, Camat Besitang, KAPOLSEK Besitang, DANRAMIL Besitang, Bupati Musi Banyuasin, Camat Bayung Lencir, Kepala Desa Muara Medak serta para mitra BBTNGL (VESSWIC, WCS, YEL, YSOL-OIC, UNESCO, YLI dan YAGASU) atas dukungannya dalam proses relokasi ini.

TNGL

Kelestarian Kawasan TNGL Berada Dalam Ancaman

Langkat, Sumut, (ANTARA News) Kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Langkat Sumatera Utara, berada dalam ancaman.

"Keberadaan TNGL sekarang ini berada dalam ancaman, diakibatkan keberadaan eks pengungsi korban konflik Aceh," ujar Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Drs Andi Basrul, dalam press release-nya yang diterima ANTARA di Stabat, Kamis (9/6).

Dijelaskannya bahwa Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan Kawasan Pelestarian Alam, yan berada di NAD dan Sumatera Utara, yang dideklarasikan pada tanggal 6 Maret 1980 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/UM/1980.

Selain keputusan ini kemudian diperkuat lagi, dengan Keputusan Menteri kehutanan Nomor 276/Kpts-II/1997, tentang penunjukkan TNGL dengan luas 1.094.692 hektare.

Andi Basrul juga menyampaikan bahwa TNGL ini telah diakui dunia Internasional dengan penetapannya sebagai Cagar Biosfer pada tahun 2081, dan sebagai warisan dunia (Tropical Rainforest Heterige of Sumatera) pada tahun 2004 oleh UNESCO.

Namun, pada perkembangannya TNGL, kata Andi Basrul pula dalam press release-nya itu, bermukim di kawasan TNGL pengungsi korban konflik Aceh di resort Sekoci dan Sei Lepan, sejak tahun 1999, dimana telah menyebabkan degradasi/kerusakan hutan seluas 22.100 hektar.

Berbagai upaya telah dilakukan pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL), kata Andi Basrul pula, baik preventif, persuasif, pre-emtif maupun represi.

Relokasi pengungsi juga sudah dilakukan sejak tahun 1999, ke berbagai tempat antara lain ke Mahato Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, ke Desa Siarti Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Selain itu juga ke Desa Besilam Baru Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai, Provinsi Riau serta ke Desa Muara Medak Kecamatan Buyung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan tahun 2010 dan 2011.

Terakhir Maret 2011, dimana pihak BBTNGL mengultimatum para pengungsi agar keluar dari TNGL, untuk direlokasi ke Desa Muaa Medak Kecamatan Buyung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, apabila tidak ingin di katagorikan sebagai peambah, katanya.

Akhirnya ada 16 KK atau sejumlah 46 jiwa, yang mau menuruti ultimatum tersebut. Dengan demikian, kata Andi basrl pula, masyarakat yang masih bermukim di kawasan TNGL saat ini merupakan perambah yang harus ditindak secara hukum.

Untuk itulah Operasi Khusus Pengamanan Hutan (OKPH), yang direncanakan 13 Juni 2011 mendatang, merupakan pilihan terakhir, menyelesaikan permasalahan perambah di resort Sekoci Kecamatan Besitang Langkat.

Dikatakannya, bahwa operasi ini telah menjadi komimen seluruh pihak baik di pusat maupu di daerah, diantaranya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Gubernur Sumatera Utara.

Selain itu DPRD Sumatera Utara, Pangdam I Bukit Barisan, Kapoldasu, Danrem 0203 Pantai Timur, Bupati Langkat, Kapolres Langkat, Dandim Langkat, Kajari, Kepala Dinas Kehutanan Langkat, Dan Yonif 8 Marinir, Satpol PP.

Diharapkan, ujar Andi Basrul pula, dengan Operasi Khusus Pengamanan Hutan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dapat segera menyelesaikan perambahan di Sei Siminyak, Resort Sekoci, Kecamatan Besitang, Langkat, dan kelestarian TNGL dapat terwujud.

(T.KR-JRD) (ANTARA)