Monday, July 23, 2012

Meneruskan Tradisi Endatu Sebagai Pandai Besi

PAGI itu matahari belum terlalu tinggi, gampong Lamblang Manyang, Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar yang terletak di pinggiran kota Banda Aceh pun terasa lengang. Beberapa warga terlihat sedang memanen padi di Sawah. Suasana lengang berubah bising ketika The Atjeh Post sampai di sebuah gubug beratap rumbia tanpa dinding. Lantainya berupa tanah yang warnanya sudah menghitam karena bercampur dengan abu yang berasal dari arang tempurung kelapa. Di sekelilingnya sampah-sampah yang berasal dari serbuk kayu bertebaran.
Suara-suara besi ketika dipalu terdengar sangat bising, namun tidak bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari profesi tersebut. Suara-suara itu tak ubahnya bagai simfoni yang mampu memantik semangat mereka dalam bekerja. Lidah api dari dapur menjulur-julur memanaskan besi-besi yang siap dibentuk.
Di gubug itulah setiap harinya sebanyak 12 orang lelaki dewasa warga Lamblang Manyang yang diketuai oleh Sulaiman, menjalani profesinya sebagai pandai besi. Di tangan mereka besi-besi disulai menjadi parang, pisau, linggis, arit dan berbagai peralatan lainnya.
Di dalam gubug ada enam dapur yang mereka fungsikan untuk membakar besi yang akan diolah maupun dipotong. Besi-besi itu dibakar dengan arang dari tempurung kelapa. Di sampingnya tiang dari besi dipancang di tanah, sebagai alas ketika mereka memalu besi-besi yang sudah dibakar tersebut.
Perlengkapan produksi tersebut umumnya adalah peninggalan dari pada pendahulu mereka.
Bila kita datang ke gampong Lamblang Manyang, gubug-gubug serupa bertebaran di tanah-tanah penduduk, itu adalah pemandangan yang umum karena 80 persen masyarakat Lamblang Manyang berprofesi sebagai pandai besi. Sedikitnya ada lebih dari 20 gubug pandai besi di wilayah tersebut. Sisanya sebagai petani dan pegawai pemerintahan maupun swasta.
Gubug yang diketuai oleh Sulaiman ini adalah salah satu gubug yang ada di Lamblang Manyang. Usianya sudah mencapai ratusan tahun, dan termasuk yang paling tua di desa itu. Kepada The Atjeh Post Sulaiman (55) mengatakan bahwa gubug ini sudah ada sejak dari kakek buyutnya dahulu. “Usianya sekitar seratus lima puluh tahun, kalau ada yang rusak kami tinggal perbaiki saja dan biayanya ditanggung bersama-sama,” katanya, Selasa, 20 Maret 2012.
Menurut Sulaiman, pandai besi di Lamblang sudah ada sejak zaman Belanda. Bukan hanya ada dikampungnya saja, para pandai besi juga ada di desa Lagang dan desa Lamblang Trieng tetangga kampung mereka.
Peralatan dari besi yang diproduksi masyarakat Lamblang sudah sangat terkenal kualitasnya. Di seluruh pasar di Banda Aceh, barang-barang sejenis yang dijual adalah barang-barang yang diproduksi oleh masyarakat Lamblang. Mereka memberinya label LB atau Lamblang. Sisanya adalah barang-barang dari Sigli dan daerah lainnya.
Tidak hanya dijual di Banda Aceh barang-barang dengan merek LB juga dijual ke seluruh Aceh. Mengenai harga, barang-barang merk LB memang lebih mahal lima puluh persen dari barang-barang produksi dari daerah lain.
Untuk sebilah parang Sulaiman menjual ke agen 80 ribu rupiah, pisau berkisar antara 10 sampai 25 ribu, linggis 20 ribu, dan penggali tanah 60 ribu. Sedangkan barang-barang produksi daerah lain hanya dijual setengahnya saja. “Produksi kami memang lebih mahal, karena kualitasnya bagus, besi yang kami pakai besi per mobil,” kata Sulaiman.
Untuk setiap barang-barang tersebut Sulaiman dan pengrajin memang mendapatkan keuntungan yang lumayan besar.  Berkisar antara 40 sampai 50 persen per bilahnya.
Besi-besi tersebut didapatkan Sulaiman dari penyalur khusus dengan harga bervariasi, mulai dari empat ribu sampai delapan ribu rupiah per kilogramnya. Dalam satu kilo besi setidaknya bisa menghasilkan dua parang berukuran sedang.
Bila dilihat dari persentase keuntungan profesi ini memang sangat menggiurkan. Namun keuntungan itu menurut Sulaiman tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang mereka habiskan.
Karena semuanya dilakukan secara manual, setia harinya mereka hanya bisa memproduksi dua bilah parang.. Jika mereka memulai lebih awal paling banyak mampu menyelesaikan tiga bilah parang. Sedangkan pisau bisa mencapai lima bilah setiap harinya.
“Yang kami utamakan adalah kualitas parangnya, memang agak lama tetapi pembeli akan merasa puas dengan barang produksi kami,” kata Sulaiman yang memberi label SLM untuk barang produksinya.
Keahlian membuat parang mereka dapatkan secara turun temurun dari orang tua mereka. Mayoritas masyarakat Lamblang memiliki keahlian mengolah besi, dan dari sanalah mereka memenuhi kebutuhan hidup dari waktu ke waktu.
Tidak hanya membuat parang dan pisau saja, kadangkala Sulaiman juga menerima tempahan membuat pedang dengan panjang mencapai 70 cm. Namun membuat pedang menurutnya tidak secepat membuat parang, waktunya bisa sampai berminggu-minggu karena pedang menggunakan gagang dari tanduk.
Tanduk yang dipakai pun tidak boleh sembarang tanduk, harus tanduk kerbau betina.
Mencari tanduk kerbau pun bukan perkara mudah, dan harganya lumayan mahal. Satu buah tanduk harganya berkisar 50 ribu rupiah. “Kalau tanduk kerbau jantan tidak bisa, karena di dalamnya ada daging semua, setelah dibakar tanduk akan kosong jadi tidak bisa ditancapkan sebagai gagang pedang,” kata Sulaiman.
Ini lah yang membuat harga tempahan pedang menjadi mahal, sebilah pedang dengan ukuran panjang 60 centimeter harganya bisa mencapai antara 300 sampai 350 ribu rupiah. Untuk pedang,  Sulaiman juga sering menggunakan besi bekas dari mata chain saw.
Di pasaran menurut ayah dari delapan orang anak ini, sudah banyak beredar barang-barang berlabel LB yang bukan produksi masyarakat Lamblang Manyang. Ternyata tidak hanya lirik lagu yang dijiplak, parang juga.(AP*IHAN NURDIN)

Abdul Hamid: Tak Ada Besi Harus Dicari

Plesetan pepatah ‘tak ada besi rotan pun jadi’ tampaknya tak berlaku bagi Abdul Hamid (50). Buktinya, ketika besi sulit didapat di Tebing Tinggi, dia pun mencari hingga Medan. Ya, dia memang seorang pandai besi dan tidak berpikir sedikitpun untuk berpindah ke bisnis ‘rotan’.
Begitulah, Abdul Hamid memang harus menjalani usaha yang diwariskan oleh orangtuanya, H Sakban. Usaha pembuatan berbagai benda tajam dari bahan besi tersebut telah berdiri sejak 1964 lalu. Tidak berlebihan jika usaha yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Lingkungan III, Kelurahan Durian, Kecamatan Bajenis Tebing Tinggi tersebut sangat dikenal. Selain telah hadir cukup lama, hasil buatan mereka cukup bisa diandalkan. Sayang, hasil dari karya mereka tak sebanding dengan kerja. Buktinya, pada tahun 2000 H Sakban menyerah. Dia tak sanggup lagi meneruskan usahanya tersebut.
Lalu, Abdul Hamid yang merupakan anak kelima dari delapan bersaudara tampil sebagai penyelamat. Dengan semangat dia ambil alih usaha bapaknya itu. Dari tangannya pun lahir kampak sawit (dodos), parang, pisau, babat, arit, dan sebagainya. Sejatinya hal itu tak sulit, pasalnya sejak kecil dia telah mendapat ilmu dan pengalaman dari H Sakban. “Hasil kerja memang tak seimbang dengan pendapatan, namun kita teruskan usaha orangtua yang sudah menjadi amanah,” Ujar Hamid.
Mungkin, menjalankan amanah tersebutlah yang menjadi penyemangat Hamid. Buktinya, usahanya terus melaju. Pesanan benda tajam karyanya terus mengalir. Bahkan, tidak hanya dari Kota Tebing Tinggi saja, hasil karyanya pun diakui di luar kota seperti Rantau Prapat, Medan, dan sebagainya. Tidak hanya itu, lima anak yang ditanggungnya pun bisa bersekolah tinggi, tidak sepertinya yang hanya sampai duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, meski karyanya dapat diandalkan, kenyamanan hidup memang sulit diraih. Bukankah tidak setiap hari orang membeli parang atau pisau layaknya orang membeli beras? “Usaha ini hanya bisa untuk makan sehari-hari. Untuk hidup senang atau mewah tentunya sulit. Karena itu, saya tak mau anak-anak saya menjadi pandai besi juga. Saya tak mau mereka seperti bapak dan kakeknya yang setiap hari bergaul dengan besi,” lirih Hamid.
Seiring waktu, Hamid memang cenderung mendapati masalah. Pasalnya, besi sebagai bahan baku untuk usahanya bukan barang yang mudah didapat. Ya, dia membutuhkan besi bekas semacam gerdang kendaraan roda empat yang sudah rusak. Biasanya dia mendapatkan benda itu dari para pengepul besi yang ada di Kota Tebing Tinggi. Namun, benda itu tak selalu tersedia. “Bahkan kami harus mencari dan membeli sampai ke Medan, itu pun harganya sangat mahal sampai mencapai Rp7000 per kilonya. Untuk pembakaran, kami lebih memilih arang dari Pekanbaru karena baranya mampu bertahan lama,” jelas Hamid.
Hasil karya Hamid dijual dengan harga yang terjangkau, seperti parang dijual dengan harga Rp20.000, babat dijual dengan harga Rp20.000, kampak sawit dijual harga Rp20.000 dan alat pemanen buah sawit (eggrek) dijual dengan harga Rp50.000 per buahnya. Sementara, bila disetor kepada penjual yang ada di Kota Tebing Tinggi harga sampai turun 50 persen dari harga jual ke pembeli langsung.
Dalam melangsungkan usahanya, Hamid dibantu oleh 4 orang anggota yang semuanya adalah kerabatnya. Per harinya mereka mampu menghasilkan 30 buah parang. “Beruntung kadang-kadang kami dapat pesanan dodos (kapak sawit) dan eggrek (alat pemanen sawit yang lebih panjang dari dodos, Red) dari perkebunan hingga ribuan buah, jika tidak bisa gawat usaha ini,” tegas Hamid. (mag-3)

Kepala Benjol, Kulit Melepuh, Tangan Sekasar Karang
Jangan bermain api, pesan orangtua kepada anaknya. Ya, api kecil menjadi kawan dan api beras menjadi lawan. Namun, bagi pandai besi Abdul Hamid, kalau tak ada api, bagaimana mau mendapat penghasilan.
Ya, sebagai pandai besi memang banyak risikonya. Selain terus berada di areal yang sangat panas, ternyata kepala benjol terkena godam (martil) dan kulit melepuh terpercik api menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. “Itulah risiko pandai besi,” kekeh Hamid.
Hamid menerangkan, alat-alat bantu untuk usahanya adalah godam sebagai pemukul besi, paron sebagai alas tempat pemukulan, pahat, blower (kipas angin) dan grenda sebagai penajam hasil. Nah, dalam pembuatan parang butuh proses sampai 6 kali pembakaran dari bahan awal hingga menjadi parang. Besi pun dibakar dengan suhu mencapai 500 derajat celcius.
Sebagai catatan, dalam hal pembuatan, pemukulan yang dilakukan oleh empat orang harus kompak secara bergantian, apabila tidak kompak maka godam akan mengenai kawan. “Kalau tidak bisa benjol kepala kawan,” kata Hamid.
Selain benjol, kulit juga bisa melepuh. Bukan sesuatu yang tak biasa bagi pandai besi terkena percikan api. Pasalnya, dalam proses pembuatan, besi yang panas itu memang dipukul berulang-ulang agar pipih. Nah, saat pemukalan itu, percikan akan terbang bebas. Tak pelak, jika sial, kulit si pandai besi pun melepuh. Tak hanya sampai di situ, akibat memegang godam yang berat, tangan pandai besi pun mengeras, istilahnya kapalan.
“Tangan kita jadi sangat kasar kayak karang. Kadang malu juga, apalagi kalau salaman dengan pejabat,” kekeh Hamid lagi.  (mag-3)

Sunday, July 22, 2012

Udang Windu Tahan Virus dikembangkan di Makassar

Makassar : Peneliti Indonesia tengah mengembangkan bibit udang windu (Penaeus monodon) yang tahan penyakit terutama serangan virus sindrom bintik putih (white spot syndrome virus/WSSV). “Saat ini telah berhasil dikembangkan bibit indukannya. Nantinya indukan ini akan diuji tingkat daya tahannya terhadap penyakit setelah berusia 18-24 bulan,” kata Andi Parenrengi, peneliti yang menjadikan temuan ini sebagai bahan desertasinya.
Menurut Andi, bila penelitian ini berhasil dan terbukti bisa menjadi bibit unggul udang windu yang tahan WSSV, besar kemungkinan Indonesia akan kembali bisa menjadi produsen udang yang terbesar di dunia.
Udang windu, atau yang juga dikenal dengan sebutan giant tiger, adalah varietas udang asli Indonesia. Udang jenis ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, terutama di pasar ekspor.
Namun akibat serangan WVVS yang demikian masif, banyak usaha tambak udang windu yang gulung tikar dan petambak pun beralih memelihara udang putih atau udang vaname (Pennaeus vannamei).
“Meskipun banyak petambak yang berhenti membudidayakan udang windu, kami tetap menjadikan penelitian bibit unggul udang windu tahan virus ini sebagai salah satu fokus pengembangan karena udang jenis ini adalah khas Indonesia,” kata Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP), Dr. Rachmansyah di Maros, Sulawesi Selatan.
Masih menurut Rachmansyah, selain pengembangan bibit unggul, BPPBAP juga berhasil mengembangkan teknik Elisa untuk mendeteksi WSSV yang lebih cepat dan lebih murah di lapangan daripada uji di laboratorium. (ant)

Ternak Itik di sawah, perkecil Biaya, Hasil melimpah

Desa Merdeka – PPU : Pertanian di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) semakin maju, selain pendapatan petani semakin baik, juga berbagai cara dilakukan petani dalam menghasilkan padi yang berkualitas.
Hal itu yang dilakukan salah satu petani yang memiliki lahan sawah di RT 06, Desa Labangka Barat, Kecamatan Babulu, Imam. Imam berhasil menemukan cara memperkecil biaya pertanian dan hasilnya  memuaskan. Imam juga memelihara ternak itik di lokasi sawahnya.
Imam mengaku mengandalkan pupuk dari hewan ternak bebeknya 46 ekor, sehingga hasil padinya meningkat dari sebelumnya. Selain biaya murah, menggunakan pupuk dari kotoran bebek ternyata menghasilkan padi semakin subur, bahkan hasilnya melimpah.
“Saya mengajar di SD 002 Babulu, saya memiliki lahan sawah sekitar 6 hektare. Alhamdulillah, berkat pemeliharaan itik mampu menghasilkan 24 ton beras dengan kualitas kristal,” tutur Imam kepada wartawan, kemarin. Pihaknya memanfaatkan waktu libur hari minggu dan pulang kerja bersama keluarga menggarap sawah, hasilnya lumayan bisa menambah penghasilan keluarga.
Joko Sadyono menjabat sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (Popt) Provinsi Kaltim yang beralamat di Desa Labangka Barat, saat dikonfirmasi mengatakan, dengan hasil penemuan secara alami oleh warga dalam peningkatan hasil padi sangat baik untuk Kabupaten PPU sebagai lumbung padi di Kaltim mapun nasional.
Melihat perkembangan padi di Kabupaten PPU yang cukup baik ini, ia berkeinginan perlu ada lumbung padi di setiap desa. ”Hasil padi di daerah ini cukup banyak, sehingga saya kira perlu ada lumbung deso untuk menampung padi masyarakat,” tutur Joko.
Joko menambahkan, dengan adanya Alokasi Dana Desa (ADD) yang diberikan pemerintah kepada seluruh desa, maka sebagian dananya dapat dialokasikan untuk pembangunan lumbung desa.
Ini penting sebagai tempat penampungan padi masyarakat, kemudian bekerjasama dengan pembeli. ”Dengan adanya ADD, pemerintah desa bisa membangun tempat penampungan padi atau lumbung padi untuk mengantisipasi kekurangan beras, bila suatu saat hasil sawah tidak mencukupi,” ucapnya.
Berbicara mengenai ternak itik di daerah persawahan, Joko menambahkan, keuntungan dari memelihara itik di areal persawahan telurnya bisa dimanfaatkan sendiri maupun dijual, apalagi ditunjang dengan pupuk alami. (blpp)

Saturday, July 21, 2012

Saatnya Aceh Urus Sendiri Penyelenggaraan Haji

Banda Aceh, (Analisa) Pemerintahan Aceh dibawah pimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf diharapkan agar dapat segera mengurus sendiri persoalan yang menyangkut pemberangkatan jemaah haji ke Arab Saudi.
"Saya kira, sudah waktunya Aceh mengelola sendiri penyelenggaraan haji. Aceh punya kewenangan khusus dan punya hubungan baik dengan Arab Saudi. Sebaiknya Aceh menghentikan segala urusan dengan lembaga/kementerian di Jakarta," ujar pemerhati kebijakan publik Aceh, Teuku Neta Firdaus, Selasa (17/7). Menurutnya, kembali mencuatnya isu korupsi dalam pengelolaan ibadah haji juga ikut berpengaruh bagi maju-mundur perekonomian Aceh.

"Jamaah haji Aceh atau umat Islam Indonesia masih harus membayar mahal untuk menunaikan ibadah haji dengan pelayanan yang buruk. Ongkos naik haji sangat mahal dibandingkan Malaysia yang pelayanan jauh lebih baik. Tidak ada pelayanan istimewa dari ongkos mahal itu," jelasnya.

Koordinator Solidaritas untuk Anti Korupsi (SuAK) Aceh ini mengungkapkan jarak pemondokan haji masih jauh dari Masjidil Haram sehingga BPIH yang mahal menjadi tidak layak dan tidak realistis.

Menurutnya, bukan rahasia umum jika pelayanan haji Indonesia masih jauh dari memuaskan. Berbagai kasus dugaan korupsi yang terkuak misalnya kuota siluman, korupsi tiket, pakaian, tas, peci, vaksinasi, makhtab, katering jemaah, dan transit haji.

Diduga pemilik-pemilik hotel memberi "persenan" terkait transit haji ini dengan total nilai mencapai puluhan miliar rupiah.

Menurut Neta, Aceh sebenarnya mampu mengelola sendiri jemaah hajinya. Selama ini ibadah umrah mampu diselenggarakan banyak lembaga/biro swasta dengan pelayanan berkualitas.

Jika Aceh mengelola haji sendiri tidak akan terjadi benturan karena Undang-Undang (UU) No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pasti bisa mengakomodirnya.

"Jadi, sudah saatnya Aceh di bawah kepemimpinan Zaini-Muzakir, ibadah haji dikelola sendiri," tegasnya. (mhd)

Friday, July 13, 2012

Petani Jamur Bertemu di APJ


(Analisa/wardika aryandi). Beberapa petani pembudidaya jamur yang tergabung dalam Asosiasi Petani Jamur se-Sumatera Utara (APJSU) dari berbagai daerah diabadikan usai pertemuan di Jalan SM Raja Kelurahan Dataran Tinggi Kecamatan Binjai Timur, Minggu (8/7).
Binjai, (Analisa). Jadikan Asosiasi Petani Jamur se-Sumatera Utara (APJSU) sebagai forum komunikasi antar petani pembudidaya jamur di Sumatera Utara. Hal tersebut diungkapkan Ketua APJSU Toto Raharjo, pada pertemuan di kediamannya Jalan SM Raja Kelurahan Dataran Tinggi Kecamatan Binjai Timur, Minggu (8/7).
Acara itu diikuti lebih dari 20 petani jamur dari berbagai daerah seperti Medan, Binjai, Langkat, Deliserdang, Serdang Bedagai, Tebingtinggi, Asahan dan Batubara.

Dalam pertemuan juga dihadiri Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Binjai Eddy Gunawan, dijelaskan APJSU merupakan lembaga yang akan menampung masukan maupun kendala yang dihadapi oleh para petani jamur, khususnya yang berada di daerah. Sehingga diharapkan tidak ada keluhan dari petani terkait persoalan budidaya hingga pemasaran jamur.

"Selama ini, yang sering dikeluhkan oleh petani jamur berhubungan dengan pemasaran. Beberapa petani mengaku masih kesulitan untuk mendistribusikan hasil panennya, karena belum punya jaringan yang luas. Padahal banyak petani lain justru sering mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pasar, karena jumlah produksi jamurnya tidak sebanding dengan permintaan."

Melalui lembaga ini, seluruh anggota diharapkan bisa selalu berkomunikasi dan saling bertukarpikiran berkaitan dengan pembudidayaan jamur, termasuk bagaiman menemukan cara efektif dalam mempromosikan produk, maupun membangun jaringan pemasaran yang lebih baik. Apalagi APJSU mengupayakan kerjasama dengan sejumlah pengusaha dibidang pengolahan makanan, maupun pemerintah untuk membantu proses pemasaran," katanya.

Sutarlim (34), salah seorang petani pembudidaya jamur di Desa Teluk Kecamatan Secanggang Langkat, memberikan apresiasi positif terhadap pertemuan yang baru pertama kali dilangsungkan di Kota Binjai tersebut.

Menurutnya keberadaan APJSU sangat berperan dalam meningkatkan semangat petani untuk mengembangkan usahanya. "Kebanyakan dari kita orang yang bukan berlatarbelakang pertanian, sehingga melalui APJSU ini semangat untuk bertanam jamur jadi semakin meningkat," jelasnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Binjai, Eddy Gunawan menyatakan siap untuk mendorong pengembangan usaha pertanian jamur dan memfasilitasi hal yang dibutuhkan oleh petani.

"Pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Perikanan memiliki tanggungjawab untuk mendorong dan memfasilitasi segala pengembangan usaha di bidang pertanian. Khusus untuk jamur. Pemko Binjai, akan terus berupaya melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat melalui sejumlah kegiatan di daerah, termasuk upaya membangun jaringan distribusi hingga ke luar daerah," katanya.

Koordinator Perhimpunan Petani Jamur se-Kota Binjai (PPJKB), Feri, berterimakasih atas dukungan pemerintah daerah. Karena secara langsung akan memberikan efek yang baik bagi perkembangan pertanian jamur, bukan hanya di Kota Binjai tetapi bagi daerah lain di Sumataera Utara. (wa)

Tuesday, July 10, 2012

Pertamina EP Rantau Semarakkan Pameran HUT Aceh Tamiang


(Analisa/istimewa). Seorang pengunjung berhasil mendapatkan hadiah yang diberikan oleh petugas di anjungan Pertamina EP Field Rantau dalam kegiatan Pameran dan Lomba Seni Budaya peringatan HUT ke-10 Aceh Tamiang di halaman kantor bupati setempat, 3-7 Juli 2012.
Rantau, (Analisa). Pertamina EP Field Rantau ikut mendirikan anjungan (stand) sebagai upaya turut memeriahkan hari ulang tahun (HUT) ke-10 Kabupaten Aceh Tamiang yang dipusatkan di halaman Kantor Bupati Aceh Tamiang.
Pameran berlangsung dan perlombaan seni dan budaya Aceh Tamiang itu dibuka Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, berlangsung selama lima hari, 3-7 Juli 2012.

Pameran ini juga membuat suasana kota Kualasimpang bertambah meriah, tidak hanya menjadi ajang mempromosikan dan memasarkan produk kerajinan Aceh Tamiang, tetapi juga menjadikan arena seni dan budaya menjadi meriah dengan hadirnya para seniman terbaik di kabupaten ini.

Kepala Layanan Operasi PT Pertamina EP Rantau, Tergiah Sembiring, dalam siaran pers yang diterima Analisa, Sabtu (7/7) menyebutkan, anjungan pameran Pertamina EP Field bertam "Pertamina Sobat Bumi".

Tema ini sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan dan penghijauan di Aceh Tamiang. Selain itu, Pertamina juga menampilkan maket proses operasi produksi migas dan poster-poster pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Selain itu, anjungan milik Pertamina EP Field Rantau yang penuh pengunjung juga menyediakan berbagai hadiah, di antaranya 150 batang bibit mangga dan rambutan. Hadiah diberikan bagi pengunjung yang dapat menjawab pertanyaan narasumber. Pertamina EP Rantau juga menyediakan hadiah kejutan (door prize) seperti blender, kipas angin, setrika, rice cooker dan sebagainya.

Field Manager PT Pertamina EP Field Rantau, Jayasuria Danuatmaja, merasa bangga dan terharu dengan kreativitas yang ditampilkan oleh ajungan Pertamina EP Field Rantau.

Sementara, Tergiah Sembiring mengharapkan, publikasi perusahaan melalui anjungan pameran ini dapat membawa banyak manfaat bagi pengunjung dalam menambah wawasan di bidang industri hulu Migas.

Dia juga berharap ke depan Pertamina EP Field Rantau mampu berbuat dan berpartisipasi lebih banyak dan lebih baik. (rel/gas)

Friday, July 6, 2012

Bandara Kuala Namu ‘Soft Launching’ Maret 2013


(Analisa/qodrat alqadri) Anggota Komite II DPD RI, Jumat (6/7) meninjau kesiapan Bandara Kuala Namu. Sejauh ini kesiapan fisik Bandara Kuala Namu mencapai 83 persen dan diharapkan sudah bisa soft launching Maret 2013.
Medan, (Analisa). Hingga saat ini pembangunan bandar udara (Bandara) Kuala Namu sudah mencapai 83 persen dan pada Maret 2013 diperkirakan sudah ‘soft launching’.
"Seluruh infrastruktur gedung, landasan dan fasilitas penunjang lainnya akan rampung akhir tahun ini sehingga pada Maret 2013 sudah bisa soft launching," ujar Pimpinan Project Implementation Unit (PIU)/Satuan Kerja (Satker) Kuala Namu PT Angkasa Pura II Joko Waskito didampingi Satker pemerintah Darfin Sinaga ketika menerima kunjungan Komite II DPD RI di Bandara Kuala Namu, Jumat (6/7).

Meskipun demikian kata Joko, kapan Bandara Kuala Namu dioperasikan sepenuhnya, tergantung pemerintah. "Maret tahun depan sudah soft launching tapi kapan resminya beroperasi tergantung keputusan pemerintah," ujarnya.

Sejauh ini katanya, pembangunan Bandara Kuala Namu sudah menghabiskan dana Rp5,5 triliun yang berasal dari APBN Rp3,5 triliun dan PT AP Rp2 triliun.

Mengenai kendala utama yang dihadapi Bandara Kuala Namu, kata Joko adalah akses (jalan) ke bandara. "Soal jalan bukan urusan kami. Wewenang kami hanya pembangunan gedung bandara," ujarnya.

Menanggapi soal akses ke Bandara Kuala Namu Kabid Pelaksanaan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional I Kementerian Pekerjaan Umum Risman Sibarani yang hadir pada kesempatan itu menjelaskan, akses jalan ke Bandara Kuala Namu dari Tanjung Morawa (Kayu Besar) bisa selesai akhir tahun ini. "Kami optimis jalan dari Tanjung Morawa ke Bandara Kuala Namu selesai akhir tahun ini," ujarnya.

Namun lanjutnya, pada akhir tahun ini dari empat lajur jalan yang direncanakan baru bisa diselesaikan dua lajur. Dua lainnya menyusul dikerjakan.

Sementara jalur kereta api dari Medan ke Bandara Kuala Namu menurutnya, akan rampung November 2012.

Jalan Tol 3 Tahun Lagi

Sedangkan jalan tol dari Lubuk Pakam ke Bandara Kuala Namu ia memperkirakan baru akan selesai tiga tahun mendatang. "Kalau untuk jalan tol paling bisa selesai tiga tahun mendatang," ungkapnya.

Kendala yang dihadapi menurut Sibarani masalah pembebasan lahan. Jalan sepanjang 18 km tersebut lahannya baru selesai dibebaskan 46 persen.

Melihat kondisi ini anggota Komite II DPD RI yang juga asal Sumatera Utara Parlindungan Purba mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah akses ke Bandara Kuala Namu. "Akses jalan ke Bandara Kuala Namu mendesak untuk segera diselesaikan. Kalaupun Bandara Kuala Namu bisa selesai dan beroperasi Maret 2013, jika akses ke bandara tersebut tidak mendukung maka dikhawatirkan pengoperasiannya secara resmi bisa tertunda," ujarnya.

Parlindungan yang datang bersama 31 anggota Komite II DPD RI mendesak agar akses jalan tersebut segera diselesaikan agar tahun depan Bandara Kuala Namu bisa benar-benar beroperasi sebagaimana harapan masyarakat Sumatera Utara.

Demikian juga soal keterlibatan pemerintah daerah dalam pembangunan jalan tol, seluruh anggota Komite II DPD RI mendesak agar pemerintah daerah turut berperan. "Saat ini saham asing 90 persen dan pemerintah pusat 10 persen. Harusnya pemerintah daerah ambil bagian sehingga ketika Bandara Kuala Namu beroperasi jangan hanya jadi penonton," ujar mereka. (rrs)

Sunday, July 1, 2012

Pertamina Rantau Gelar Syukuran Tajak Sumur RNT-PA7


(Analisa/istimewa). Field Manager Pertamina EP Field Rantau, Jayasuria Danuatmaja (paling kiri) bersama perwakilan unsur Muspida Aceh Tamiang menyalami anak yatim dan kaum duafa dalam acara syukuran penajakan sumur migas di Desa Kebun Rantau, Aceh Tamiang, Kamis (28/6).
Rantau, (Analisa). Pertamina EP Field Rantau menggelar syukuran penajakan Sumur RNT-PA7 yang berada di Desa Kebun Rantau, Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang, sekitar 10 km arah Timur kota Kuala Simpang, Kamis (28/06). Penajakan ini merupakan penajakan rencana kerja (RK) tahun 2012.
Dalam siaran pers Pertamina EP Field Rantau yang disampaikan Kepala Layanan Operasi, Tergiah Sembiring, kepada Analisa, disebutkan, sumur ini ditajak dengan menggunakan rig CWKT 210B/2A milik Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI) yang berkapasitas 400 tenaga kuda (HP).

Menurut rencana, sumur ini akan dibor hingga mencapai kedalaman akhir kurang lebih 750 meter measured depth (mMD) dari lantai bor. Penajakan dimulai tajak 15 Juni 2012 dengan perkiraan waktu pelaksanaan selama 20 hari pengeboran.

Tujuan pengeboran adalah untuk menghasilkan hidrokarbon di struktur Rantau, khususnya lapisan Z-600. Setelah berproduksi, Sumur RNT-PA7 ini menjadi sumur P-417, katanya.

Field Manager Rantau, Jayasuria Danuatmaja, dalam sambutannya mengimbau pekerja dan pekarya yang terlibat selama proses pengeboran agar senantiasa mematuhi dan menaati aturan dan aspek kesehatan dan keselamatan lingkungan dalam menjalankan tugas untuk menghindari hal-hal yang dapat menghambat atau merugikan perusahaan.

"Kami juga mengharapkan dukungan dari pemda, tokoh masyarakat, ulama dan seluruh masyarakat yang berada di lingkungan operasional, agar kiranya dapat mendukung terlaksananya kegiatan pengeboran ini dengan baik," katanya.

Hadir dalam acara syukuran itu Ketua PN Kualasimpang, Agung Suhendra SH; Dansubdenpom Aceh Tamiang, Lettu Lilik Fitriadi; Perwira Penghubung Kodim 0104 Aceh Timur, Mayor A Yani; Onshore Driling Manager Area NAD Sumbagut, Dulidi Alidin; Company Manager Drilling Departement Pertamina EP, Zamhir Islamie, Perwakilan Muspida Aceh Tamiang, Muspika Rantau, dan tim manajemen Pertamina EP Field Rantau.

Dalam acara syukuran itu, diserahkan santunan secara simbolis kepada 100 anak yatim dan kaum duafa yang berada di sekitar lokasi penajakan sumur. Penyerahan dilakukan Field Manager Rantau, Jayasuria Danuatmaja.

Sebelumnya, pada 27 Juni 2012 juga telah diserahkan bantuan dua ekor sapi yang disembelih masyarakat Kampung Kebun Rantau dan dagingnya dibagikan kepada anak yatim, kaum duafa dan masyarat di sekitar lokasi sumur.

Serangkaian dengan kegiatan penajakan beberapa sumur Migas di Kampung Kebun Rantau, Pertamina EP Field Rantau yang kegiatan utamanya mencari Migas juga mewujudkan kepeduliannya terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) berupa kegiatan menjahit dan bordir mulai dari pelatihan, bantuan alat kerja hingga bahan baku. (rel/gas)