Oleh Rahmat RA
Sebuah kota mungil kotor dan tua tampak kokoh di tepi tikungan patah
itu. Dari arah turunan Gunong Seulawah jelas terlihat bangunan demi
bangunan yang atapnya sudah karatan. Genangan air di badan jalan negara
Banda Aceh-Medan kontras silaukan mata. Tapi semakin dekat mata
memandang, air itu lenyap entah kemana, ternyata hanya fatamorgana yang
dipicu terik mentari hari.
Seorang lelaki renta melambai tanyannya pada setiap minibus (L-300)
yang melintasi bengkolan “mautâ€Â di jantung Pasar Kecamatan Padang
Tiji, Kabupaten Pidie. Sesekali beberapa kerutan dikeningnya terlihat
jelas saat sopir L-300 menggeleng-gelengkan lengan sambil belalu di
hadapannya.
“Nyoe na dua doe sewa treuk, ka dua jeum hana meteumee moto,â€
kata pak tua itu sambil menyipitkan matanya menahan terik sengatan
mentari dan antisipasi debu dihempas angin ke rumannya. Namun ia tetap
tersenyum sesekali tawanya meledak saat saat sopir L-300 tak mampu
menampung penumpangnya.
Namun ia tetap sabar menunggu dan menghibur dua orang calon
penumpang itu. Mungkin ia tak mau beberapa lembar rupiah yang ada
didepannya lenyap karena mereka batal berangkat ke kota tua Banda Aceh.
Sungguh sikap tak lazim bagi seorang harlan (agen penumpang) lainnya.
Mungkin faktor pengalaman dan pahit getir hidup ini telah menempa
Bukhari atau Ayah Bukhari hingga begitu sabar dan tabah.
Ia tampak terdiam sejenak, sepertinya pak tua itu sedang menerawang.
“Seandainya waktu bisa bisa berputar kembali ke masa
lalu,â€Â celotehnya datar, tapi tetap diiringi senyum, kali ini ia
sedikit mengulum haru. “Mangapa bapak bertutur demikian,â€Â kata
salah seorang penunggu bus umum, heran.  “Saat aku muda dulu,
transportasi memang sulit, namun ada kereta api yang bisa mengangkut
banyak orang,â€Â ujarnya datar saja.
Menurut Bukhari, dulu di pinggiran pasar Padang Tiji pernah dibangun
stasiun singgah kereta api yang hendak ke Banda Aceh atau ke Sumatera
Utara. Stasiun tersebut dulu adalah tempat ia mengais rezeki. Ia pun
mulai semangat bercerita, kali ini semangatnya berapi-api.
Sebelum tahun 1971 yang menamat riwayat kereta api Aceh, Padang
Tiji termasuk kota stasiun termaju di Pidie setelah Meureudu. Berbagai
komoditi rakyat diangkut dengan kereta api. Masyarakat yang hendak
berpergian ke Banda Aceh atau sebaliknya semua pakai kereta api,
mungkin karena belum ada kendaraan jenis lain, kecuali sado (kereta
tradisional roda dua yang ditarik lembu atau kuda). Namun bagi Bukhari
dan jutaan masyarakat Aceh saat itu sangat menikmatinya. Apalagi dia
sendiri “orang stasiunâ€.
Sementara di Banda Aceh sendiri (Artikel atas nama M. Joenoes Joesoef di
www.acehforum.or.id),
Dulu ada sebuah pojokan di sisi utara kerkhof, kira-kira di belakang
deretan kantor-kantor eks DKA, Djawatan Kereta Api. Tempat itu disebut
“Depot Minyakâ€. Ada rel kereta api yang menghubungkannya dengan
stasiun, sehingga gerbong-gerbong BBM dari Brandan dapat dikirimkan di
situ, untuk dibongkar (isinya dipindahkan ke tangki-tangki penimbun
yang ada di situ). Dari situlah BBM beredar.
Ada lagi sebuah moda transpor yang pernah hadir untuk masyarakat
pada waktu itu. Kereta api. Untuk keperluan dalam kota, trayeknya
memang terbatas sekali. Cuma antara stasiun Kutaraja dan stasiun Ulheu
Lheu. Relnya membentang mulai dari stasiun, melalui Jalan Diponegoro,
menyeberangi Jalan Merduati, masuk ke Lampaseh, melewati Deah Alue,
Deah Baro, lalu stasiun Ulheu Lheu. Di Pasar Aceh, ada sebuah halte,
sehingga penumpang bisa naik dan turun di situ.
Trayek antar kota dari kereta api ini menghubungkan Kutaraja sampai
ke Medan. Tetapi kereta api Aceh sendiri harus mengakhiri tugasnya
sampai di Besitang saja. Tugas selanjutnya diambil alih kereta api
Deli. Masaalahnya, ada perbedaan sarana. Lebar rel saja sudah tidak
sama. Lebar rel kereta api Aceh hanya sekitar 75 centi meter. Sementara
lebar rel selanjutnya sudah mencapai satu meter lebih. Banyak yang
membandingkan, kereta api yang dipakai di Aceh ini, ditempat lain hanya
dipakai sebagai sarana perhubungan dalam usaha perkebunan-perkebunan
belaka, seperti perkebunan tebu misalnya.
Dalam artikelnya, penulis “Seri Femina: Bumi Yang Membaraâ€Â yang
pernah mencicipi nikmatnya perjalanan naik kereta api, sekitar tahun
1952, ikut dalam rombongan keluarga menuju ke Sigli. Berkunjung ke
tempat abangnya, yang menjadi guru Sekolah Teknik di Kampung Keuramat.
Perjalanan yang rasanya asyik dan santai. “Jas-jos-jas-jos! Tuit!â€
tulisnya.
Sejarah kereta api di Aceh sepertinya berakhir dengan berkobarnya
“Peristiwa 21 September 1953â€Â atau saat Tgk Daud Beureueh, pada 21
September 1953, memutuskan perang melawan Pemerintah Indonesia. Ia
menyatakan bergabung dengan gerakan SM Kartosuwiryo dibawah bendera
DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat
pada 17 Agustus 1949. Dengan demikian, Aktivitasnya jadi
tersendat-sendat. Lebih banyak hanya memelihara aset saja.
Trayek Kereta Api
Pada tahun 1930 kereta api yang ada di Aceh beroperasi dengan titik
pemberangkatan dari kota Medan dan biasanya dimulai pada pagi hari,
kereta akan berjalan ke arah utara melalui tempat pengilangan minyak
BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) Pangkalan Brandan. Di
perbatasan Aceh, yaitu di Besitang, jenis kereta api diganti dari
kereta api DSM dengan kereta api Atjeh Tram yang mempunyai jalur lebih
sempit dan gerbong lebih kecil.
Perjalanan hingga Langsa melalui daerah-daerah perkebunan karet.
Pemandangan kampung-kampung dengan pohon-pohon kelapa dan pisang,
rumpun bambu yang rimbun dan persawahan menjadi hiburan tersendiri bagi
pengguna kereta api.
Di sepanjang perjalanan banyak dijumpai stasion-stasion kecil. Pada
pukul 18.00 sore kereta api sampai di Lhokseumawe, selanjutnya keesokan
harinya pada pukul 13.00 siang tiba di stasion Sigli. Di Padang Tiji
kereta api berhenti sekitar 10 menit untuk ganti lokomotif yang lebih
kuat, sebab jalan mulai menanjak melalui batas air antara Gunung
Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong yaitu melewati krueng Empat
Puluh Empat.
Pukul 15.00 kereta api berangkat dari Seulimum melalui Indrapuri
menuju Lambaro, di Lambaro kondektur kembali memeriksa karcis
penumpang. Pada pukul 18.00 sore kereta api baru tiba di stasion
Kutaradja. Jadi perjalanan dengan memakai kereta api untuk lintas Medan
– Kutaradja memakan waktu selama dua hari.
Pemberhentian terakhir Atjeh Tram melalui sebuah tanggal kecil yang
berujung dekat jembatan kereta api yang terbentang di atas kuala, muara
Krueng Aceh. Tempat itu berada dekat hutan bakau. Di tempat itu
sekarang sudah berdiri dengan kokoh pertokoan Barata Department Store.
Jadi, dengan kehadiran kereta api yang diramalkan akan segera
beroperasi di Aceh, diharapakan suasana perjalanan seperti tempoe
doeloe yang menyenangkan terhidang di depan mata.
Penolakan dari Aceh
Seiring perjalanan waktu, kereta api beserta rel-relnya yang
membentang di belahan bumi timur Aceh lenyap dilumat waktu. Selaku
saksi hidup yang pernah merasakan nikmatnya trasportasi Aceh di masa
silam, M Joenoes tergugah saat mendengar bahwa kereta api akan
dihidupkan kembali sebagai salah satu moda transportasi dari berita
yang disajikan Radio Republik Indonesia (RRI).
Pada artikelnya dia juga menulis bawa pernah mendengar beberapa
tokoh masyarakat di Lhokseumawe yang menolak ide itu. Menurut tokoh
itu, yang diminta rakyat Aceh bukan membuka kembali jalur kereta api,
tetapi jalur jalan-jalan baru untuk membuka keterisolasian
daerah-daerah di pedalaman Aceh.
Mungkin yang dimaksudkan M. Joenoes, tokoh tersebut yakni mantan
Anggota DPRK Lhokseumawe, yakni Tgk H Basyaruddin Daud (F-PPP), H Ismet
Nur Aj. Hasan (F-PAN), Muzakkir Ibrahim (PDI-P), Jamal Mildad (Ketua
komisi D dari PKS). Mereka sepakat, pembangunan jalur tersebut lebih
cenderung kepada menghambur-hamburkan uang rakyat dan “Cet langet”, dan
ini juga merupakan proyek politis, dengan ada proyek tersebut
nantinya bisa mendapatkan untung yang lebih besar. Seperti yang
dilansir
wikimu.com.
Mengenai pembangunan jalur rel kereta api di Aceh belum saat saatnya
dibangun. “itu hanyalah proyek politik atau proyek “Abunawasâ€,
ujar Muzakkir Ibrahim. Menyangkut istilah Abunawas yang diutarakan
Muzakkir mengarah pada indikasi gagal untuk yang kesekian kalinya
terhadap beberapa program-program besar di Aceh yang langsung didanai
oleh pusat dan pembangunannya saat ini tidak sempurna dan
berkesinambungan. (lagee rumoh abu nawah, na pinto, hana pageue).
Barang Pajangan
Sebuah Mini bus melaju kencang di jalan dua jalur yang membelah
lading gas di pinggiran Kota Lhokseumawe. Satu meter dari badan jalan
terbentang rel kereta api yang sepertinya sudah berkarat. Di beberapa
tempat, ada yang sudah ditimbun warga untuk melintas. Sebagian lagi ada
yang sudah dicopot dan ditumpuk begitu saja oleh warga setempat.
Ternyata, untuk saat ini, rel itu menggagu aktivitas masyarakat atau
setidaknya tak elok dipandang mata.
Begitu juga dengan gerbongnya. Setelah lama menanti, lokomotif dan
satu train dari Madium pun tiba di Kreung Geukuh Lhokseumawe. Namun
sampai saat ini masih jadi barang pajangan unik baik anak-anak yang
belum melihatnya secara langsung. Mengapa proses pembagunganan kereta
api di Aceh denial lamban? Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah itu
hanya sekedar proyek politik seperti yang diutarakan beberapa anggota
DPRK Lhokseumawe.
Salah satu kendalanya adalah penkondisian lahan, untuk jalur lama,
sedangkan untuk pergeseran jalur tentu butuh biaya besar pembebasan
lahan. Menurut Kepala Satuan kerja (Satker) Kereta Api Aceh Muhammad
Dahlan, pembangunan kembali jalur dan kereta api Aceh menghadapi banyak
kendala, khususnya masalah lahan yang sudah beralih fungsi, baik rumah
penduduk maupun jalan.
Ia mengatakan, pihaknya tidak bisa menyalahkan masyarakat, karena
jalur kereta api sebelumnya sudah lama tidak berfungsi, sehingga mereka
menganggap lahan tersebut tidak digunakan lagi. Ketika jalur kereta
api di Aceh dibuka kembali, rakyat terkejut, sehingga membutuhkan waktu
agak lama untuk menyakinkan masyarakat. Padahal, Dalam program
lanjutan tahun 2009, Departemen Perhubungan menyediakan dana Rp32
miliar yang akan digunakan membangun fasilitas pendukung pada proyek
2007-2008 untuk operasional, seperti kantor dan stasiun.
Bayak kalangan berharap besar Pemerintah Pusat dan Pemeritah Aceh
diminta segera merealisasi proyek kereta api tersebut dengan sebijak
mungkin. Agar bunga tidur rakyat benar-benar menjadi sebuah kenyataan
sejarah Aceh modern dengan jenis transportasi yang kerap dibualkan
pemeritah sejak 1998.
Sebenarnya, bila tak dijanjikan pemerintah, meski sejarah perkereta
apian aceh sangat romantic, mungkin rakyat Aceh tak pernah bermimpi
untuk menghayalkannya lagi (meu lam ulee tan le). Lagi pula sudah
banyak jenis trasportasi lain yang lebih sederhana dan simple. Apa
dikata, rakyat sudah terlanjur berharap. Mau tidak mau, ya lanjutkan!
Meunyoe hana apui, pane na asap!
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga petang. Sebuah mini bus berhasil
dihentikan Ayah Bukhari. Dua calon penumpang (Aku dan istriku) yang
sedari tadi menunggu pun pindah kursi ke dalam L-300. Sang Harlan pun
lenyap saat mini bus mengintari tingan jalan ke arah seulawah.
Semoga kenangan manis menikmati bisa bukhari ulangi dalam waktu
dekat sebelum ajal menjemput. Pemerintah harus membuktikan pada publik
bahwa pembukaan jalur kereta api Aceh bukan proyek politik atau proyek
Abunawah. Semoga Keinginan warga Aceh benar-benar menikmati Kereta Api
Aceh (KAA) tahun 2010 sesuai janji Dirjen Perkeretaapian Departemen
Perhubungan. Semoga saja!
—-
Kronologis Pembangunan Geuritan Apui (Atjeh Tram)
26 Juni 1874
Gubernur Aceh dan daerah taklukannya memerintahkan untuk
menghubungkan tempat demarkasi pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja dengan
rel kereta api sepanjang 5 km dengan lebar spoor (rel) 1,067 meter.
12 Agustus 1876
Jalan kereta api Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum dengan menghabiskan biaya 540.000 golden.
Tahun 1885
Jalur kereta api diteruskan hingga Gle Kameng-Indrapuri, namun hanya
mampu mencapai Lambaro dengan alasan keamanan. Lebar spoor dikurangi
menjadi 0,75 m dengan panjang 16 km.
Tahun 1886
Dibuka jalur dari Kutaraja – Lamnyong, sebuah jalur dari Tongah ke
Pekan Kr. Cut dan rumah sakit militer Pante Pirak. Jalur ini digunakan
untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer ke luar Aceh.
Januari 1898
Jalur kereta api diperpanjang hingga mencapai Seulimuem sepanjang 18 km dan dimanfaatkan untuk lalu lintas umum.
Tahun 1900
Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api
Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk membangun jalur ini
sebesar 3 juta golden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di
pegunungan yang sangat berat.
15 September 1903
Jalur Beureneuen – Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum.
Tahun 1912
Pertemuan jalur kereta api lintasan Deli Pangkalan Berandan – Aceh
dimulai. Jalur kereta api Langsa – Kuala Simpang resmi dibuka untuk
umum
Tanggal 29 Desember 1919
Persambungan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij dengan lintas
Aceh diresmikan pemakaiannya. Total panjang jalur kereta api Aceh 450
km dengan total biaya 23 juta Golden.[]
Tahun 1982
Banda Aceh resmi sudah tidak memiliki hubungan kereta api lagi. Hal
ini dikarenakan tidak mampu bersaing dengan sarana transportasi jalan
raya yang sudah semakin baik dan onderdil yang semakin sulit dicari.
Tahun 1998-2004
Pada 1998 melalui dana APBN murni dibangun kembali relnya di kawasan
Aceh Tamiang. Pembangunan rel yang sudah dibangun sepanjang 32 km
dilaksanakan hingga 2004. Proyek ini dihentikan akibat musibah tsunami
yang kemudian dilanjutkan lagi pada 2007.
Tahun 2007-2008
Pembangunan lanjutan rel kereta api 2007-2008 tidak dimulai dari
Aceh Tamiang, tetapi dari Krueng Mane, Kabupaten Aceh Utara hingga
Cunda, Kota Lhokseumawe sepanjang 28 km.
Tahun 2009
Dalam program lanjutan tahun 2009, Departemen Perhubungan
menyediakan dana Rp32 miliar yang akan digunakan membangun fasilitas
pendukung pada proyek 2007-2008 untuk operasional, seperti kantor dan
stasiun.
Demikian rangkaian sejarah pembangunan rel kereta api Aceh dari masa
ke masa (1874-2009). Sejarah perkereta apian aceh menyimpan sebuah
misteri sejarah yang panjang dan berliku. Bagi masyarakat Aceh,
generasi sekarang masih menghayal bisa naik kereta api seperti yang
mereka toton dalam siaran televisi (lagee lam tivi-tivi).cra/hac/dbs
Tabel pembangunan jalur Kereta Api Aceh (KAA)
NO |
KOTA |
JARAK (KM) |
TAHUN |
ALOKASI DANA (RP) |
1 |
Sp Mane-Bungkah-Kr. Geukuh-Bl. Pulo |
20,4 |
2007 |
108 milyar |
2 |
Bl. Pulo-Lhokseumawe dan Sp.Mane-Mns Alue |
51,5 |
2008 |
772,5 milyar |
3 |
Sigli – Mns Alue |
100,6 |
2009 |
1.509 miliyar |
4 |
Banda Aceh-Sigli |
112 |
2010-2012 |
1.680 milyar |
5 |
Lhokseumawe-Batas Sumut |
199,5 |
2009-2012 |
2.992,5 milyar |
Sumber: Data Kadishubkomintel Aceh