Saturday, December 8, 2012

Islam di Papua, Bukanlah Hal yang Baru.


Fiqhislam.com - Banyak yang mengira Islam adalah agama ‘pendatang’ di Papua. Tak sedikit pula yang menyebut Nuu Waar (Papua) identik dengan Kristen.

Padahal, kenyataannya orang asli Papua yang beragama Islam sangat banyak. Islam juga punya sejarah panjang di Bumi Cenderawasih, bahkan agama Allah ini datang lebih dulu ketimbang Kristen.

Sejumlah literatur menyebut, Islam pertama kali mendarat di Papua pada sekitar 1200 M ketika Putra Mahkota Kerajaan Melaka, Sultan Iskandar Syah, mengirimkan sejumlah mubaligh untuk menyebarkan Islam di Papua melalui Teluk Bernuer.

Ketika itu, Islam menghapuskan kepercayaan animisme yang masih dianut rakyat Papua dan menggantinya dengan konsep keIlahian.

Versi lain yang dikemukakan sejumlah ahli sejarah menyebut, Islam bahkan telah sampai di Papua sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, Islam dibawa oleh para pedagang dan saudagar Muslim. Papua diketahui sebagai jalur perdagangan mereka.

Sejumlah kerajaan yang berkuasa di kawasan Indonesia timur juga dianggap memiliki andil dalam penyebaran Islam di daerah tersebut, seperti Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Selanjutnya, sejumlah kerajaan yang ada di Papua pun meng anut Islam. Mereka adalah Kerajaan Waigeo, Misool, Salawati, Sailolof, Sekar, dan Patipi.

Islam di Papua juga dikaitkan dengan seorang bernama Aria Way yang memeluk Islam pada 1420. Setelah menjadi Muslim, dia mengganti namanya menjadi Samay.

Sosok Samay diyakini memiliki kaitan erat dengan keberadaan Islam di Tunas Gain, Papua. Selain itu, tersembul pula fakta tentang kehadiran mubaligh dari Aceh bernama Abdul Ghaffar di Fatagar Lama, Kampung Rumbati, Fakfak, pada 8 Agustus 1360.
Peninggalan
Tak hanya dari penuturan (tradisi lisan), keberadaan Islam di Papua dibuktikan pula oleh sejumlah peninggalan kuno.

Di Papua, misalnya, ditemukan makam ulama Islam dan piring besar bertuliskan Allah dan Muhammad. Masjid Patimburak yang didirikan di tepi Teluk Kokas, Distrik Kokas, Fakfak, juga menjadi bukti sejarah yang tak terbantahkan.

Masjid Patimburak memiliki kubah mirip gereja Eropa pada masa lalu dan interior dalam menyerupai masjid yang didirikan para wali di Jawa. Masjid tersebut dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe, pada 1870.

Saat itu, Raja Wertuer tak ingin ada perpecahan antara umat Islam dan Kristen yang telah hidup berdampingan. Karena itu, sang Raja mengadakan sayembara bagi penganut kedua agama tersebut. Mereka diminta untuk membuat tempat ibadah masing-masing.

Mereka yang bisa menyelesaikan lebih dulu tempat ibadahnya, maka agama tersebut akan diakui sebagai tempat ibadah dan agama resmi kerajaan beserta rakyat Wertuer. Tak diduga, masjid bisa selesai lebih awal, sehingga sesuai janjinya Raja Wertuer I memeluk agama Islam diikuti oleh rakyatnya.

Keberadaan Islam juga dibuktikan dengan masih eksisnya perkampungan Muslim di Babo, Bintuni, Kaimana, Fakfak, dan beberapa daerah lain. Masakan Islam kuno yang masih bertahan di Desa Saonek, Lapintol, dan Beo di Distrik Waigeo juga menunjukkan betapa panjangnya usia keberadaan Islam di Papua.

Sejumlah naskah kuno pun menjadi saksi bisu keislaman Papua. Sebut saja, misalnya, naskah kuno yang ditemukan di Raja Ampat dan Fakfak. Di Fakfak terdapat delapan manuskrip kuno berhuruf Arab.

Lima manuskrip di antaranya berbentuk kitab dengan berbagai ukuran. Yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, berupa mushaf Alquran dengan tulisan tangan di atas kulit kayu. Keempat kitab lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadis, ilmu tauhid, dan kumpulan doa.

Sedangkan tiga kitab lainnya ditulis di atas daun kobakoba, pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Naskah kuno tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu.
Namun, kejayaan Islam di Papua surut ketika dua misionaris asal Jerman datang. Mereka adalah CW Ottow dan GJ Geissler yang mendarat di Papua pada 5 Februari 1855.

Hingga saat ini, tanggal kedatangan mereka diperingati umat Kristen Papua sebagai hari bersejarah. Dua misionaris tersebut bisa masuk ke Papua setelah mendapatkan izin dari pihak kerajaan Islam masa itu.

Keberadaan Kristen di Papua kian berkibar setelah masuknya Belanda. Selain mendatangkan tentara, Belanda juga mengirim misionaris Kristen.

Ali Athwa dalam bukunya “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)” menulis, sejak kedatangan Belanda, sejumlah tokoh Islam Papua ditekan dan dipenjarakan. Mereka di antaranya Alwi Racham dan Raja M Rumangseng AlAlam Umar Sekar.

Mereka ditangkap dan dipenjarakan karena tidak mau menyerahkan pendapatan dari tambang minyak kepada Belanda. “Tokoh Muslim dari Kerajaan Islam Salawati, Muhammad Aminuddin Arfan, juga bernasib sama. Dia dibuang dan diasingkan ke Maros karena menentang penjajahan Belanda. Sejak itu, Kristen berjaya di Papua dan diklaim sebagai agama asli Papua,” tulis Ali.

Saatnya Bangkit
Meski sempat tenggelam, Islam mulai bangkit kembali di Papua. Saat ini, diperkirakan terdapat 900 ribu Muslim yang tersebar di 29 kabupaten dan kota. Dari jumlah itu, sekitar 47 persen di antaranya merupakan penduduk asli. Sejumlah kepala suku Papua mulai berpindah agama dan membuat perubahan besar di komunitas mereka.

Sebenarnya, bukan hal aneh bila ada pemimpin pada level birokrasi ataupun kesukuan yang memeluk Islam. Kenyataannya, gubernur pertama Irian Jaya adalah seorang Muslim yakni H Zainal Abidin Syah (1956-1961). Disusul Gubernur Muslim lainnya, P Parmuji, Acup Zaenal, Sutran, dan Busiri.

Sementara itu, pada 26 Mei 1978, Kepala Suku Perang, Aipon Asso, menyatakan dirinya memeluk Islam pada usianya yang ke- 70. Keputusan ini diikuti oleh 600 orang warganya di Desa Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Selanjutnya, Walesi menjadi Perkampungan Muslim Tertinggi di Dunia karena berada pada ketinggian 3.000 meter di atas permukaan air laut dengan suhu rata-rata 14 - 26 derajat Celcius.
Kampung Walesi menjadi pusat pengembangan dan dakwah Islam bagi daerah-daerah sekitarnya di Pegunungan Tengah, Papua.

Islam selanjutnya menyebar ke 12 kampung lain di sekitarnya, yaitu Hitigima, Air Garam, Okilik, Apenas, Jagara, Ibele, Araboda, Megapura, Pasema, Mapenduma, Kurulu, dan Pugima.

Selain Aipon, terdapat pula beberapa nama kepala suku lain yang juga memutuskan menjadi Muslim. Seperti Kepala Suku Besar Yapen-Waropen Manokwari, Ismail Yenu.

Di Manokwari terdapat sejumlah kampung Islam yaitu di Bintuni, Babo, dan Teluk Arguni. Kampung-kampung Islam juga berdiri di sejumlah tempat lainnya seperti Kokas, Kaimana, Patipi, Rumbati, dan Semenanjung Onin.

Komunitas Muslim pun semakin berkembang di Kabupaten Sorong, seperti di Waigeo, Misool, Doom, Salawati, Raja Ampat, dan Teminabuan.

Baru-baru ini, Kepala Suku Asmat, Sinansius Kayimter, juga telah bersyahadat dan resmi menjadi Muslim. Setelah memeluk Islam, sang kepala suku mengubah namanya menjadi Umar Abdullah Kayimter.

Menurut Umar, keputusannya untuk berislam murni datang dari dirinya. Keinginan itu sudah ada sejak lama, namun semakin kuat sejak anaknya Muhammad Hatta memutuskan memeluk Islam beberapa tahun lalu.

Umar merasa, Islam memberikan perubahan yang nyata terhadap dia, keluarga, dan warga yang dipimpinnya. Dia pun siap menyebarkan risalah Islam kepada saudara-saudaranya di Suku Asmat.

Umar percaya, bila masyarakat Asmat mengenal Islam, maka perubahan akan datang. Perubahan itu tentu akan membawa Suku Asmat pada kehidupan yang lebih baik. “Dan Insya Allah, saya akan tetap menjadikan Suku Asmat sebagai bagian dari NKRI,” ujarnya.

Setelah berislam, Umar bertekad mengenal Islam lebih dalam. Belum lama ini, ia menunaikan ibadah umrah. Sekitar 20 pemuda asli Suku Asmat pun kini belajar Alquran di Demak dan Yogyakarta.

Setelah lulus, mereka akan kembali ke Papua untuk melanjutkan dakwah yang sudah dijalankan selama ini. Keputusan Umar, juga menginspirasi sekitar 20 kepala suku lain di Papua. Keinginan itu mereka sampaikan setelah menonton berita masuk Islamnya sang kepala suku di TVRI. [yy/republika/foto republika.co.id]

Proses Masuknya islam di Papua
PPendahuluan
Kajian oleh L.C. Damais dan de Casparis dari sudut paleografi membuktikan bahwa telah terjadi saling pengaruh antara dua kebudayaan yang berbeda (yakni antara Hindu-Budha-Islam) pada awal perkembangan Islam di Jawa Timur. Melalui data-data tersebut, Habib ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya dakwah Islam sudah terjadi terjadi jauh sebelum keruntuhan total kerajaan Majapahit yakni tahun 1527M. Dengan kata lain, ketika kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya, syiar Islam juga terus menggeliat melalui jalur-jalur perdagangan di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Majapahit di delapan mandala (meliputi seluruh nusantara) hingga malaysia, Brunei Darussalam, hingga di seluruh kepulauan Papua.
Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Se-zaman dengan itu, muncul jaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalur perdagangan Nusantara. Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru. Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya.
Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak. Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.
Bertolak dari kenyataan ini maka berdasarkan ceritera populer dari masyarakat Islam Sorong dan Fak – fak, bahwa agama Islam masuk di Irian Jaya sekitar abad ke 15 yang di lalui oleh pedagang – pedagang Muslim. Daerah – daerah yang sudah mengenal dan memeluk Agama Islam itu tidak ada pembinaan terus menerus, cukup di tanamkan oleh pedagang – pedagang  muslilm yang singgah di tempat – tempat itu kemudian mereka meninggalkan tanpa pembinaan seterusnya. Untuk daerah Merauke, Islam di kenal melalui pembuangan – pembuangan yang beragama Islam oleh penjajahan Belanda yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Jawa, sehingga sampai saat ini ada istilah yang populer di Merauke dengan nama JAMER ( Jawa Merauke ).
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa proses Islamisasi di Papua di lakukan melalui jalur perdagangan yang di kembangkan oleh para pedagang – pedagang dari suku Bugis melalui Banda ( Maluku Tengah ) dan di teruskan oleh para pedagang Arab dari Ambon yang melalui Seram Timur. Selain melalui jalur perdagangan, kedatangan Islam ke Papua pun bisa terjadi melalui pembuangan orang – orang yang beragama Islam oleh Belanda yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Jawa. Karena pada saat itu Islam telah berkembang pesat di Nusantara, dan daerah – daerah tersebut telah di kuasai oleh kerajaan – kerajaan Islam. Namun pada masa tersebut juga para penjajah Belanda telah mengusai wilayah kepulauan Indonesia, dan siapa saja yang memberontak  kepada belanda akan di tangkap dan di penjarakan atau di buang dan di asingkan ke wilayah lain. 

B.   Letak Geografis Wilayah Papua 


 Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten Pucuk Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006.
Perkembangan asal usul nama pulau Papua memiliki perjalanan yang panjang seiring dengan sejarah interaksi antara bangsa-bangsa asing dengan masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa local dalam memaknai nama Papua.
Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Papua pegunungan atau pedalaman, dataran tinggi dan Papua dataran rendah dan pesisir.
Pola kepercayaan agama tradisional masyarakat Papua menyatu dan menyerap ke segala aspek kehidupan, mereka memiliki suatu pandangan dunia yang integral yang erat kaitannya satu sama lain antar dunia yang material dan spiritual, yang sekuler dan sacral dan keduannya berfungsi bersama-sama.

C.   Proses Awal Islamisasi di Papua
Mengenai kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok yaitu mengenai tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sejarahwan lokal maupun asing, kedatangan Islam di tanah Papua juga masih terjadi silang pendapat di antara pemerhati, peneliti maupun para keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, fak-fak, kaimana dan teluk Bintuni-Manokwari, diantara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal dating kedaerahnya yang hanya di buktikan dengan tradisi lisan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkelogis.
Penelusuran sejarah awal Islamisasi di tanah Papua, setidaknya dapat digali dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di tanah Papua, terdapat 7 versi yaitu:

1.    Versi Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagaian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah fakfak, kaimana, manokwari dan raja ampat (sorong). Teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan disebarkan oleh kerejaan ternate dan tidore atau pedagang muslim dan da’I dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua itu sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatak bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka meyakini kisah bahwa dahulu tempat turunya nabi adam dan hawa berada di daratan Papua.

2.     Versi Aceh
Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai dengan hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw), mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374 M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di makamkan di belakang masjid kampong Rumbati pada tahun 1374 M.

3.    Versi Arab
Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di tanah Papua, yaitu pertamakali di Wilayah jazirah onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada abad pertengahan abad XVI, sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.
Selain dari sejarah lisan tadi, dilihat dalam catatan hasil Rumusan Seminar Sejarah Masuknya Islam dan Perkembanganya di Papua, yang dilaksanakan di Fakfak tanggal 23 Juni 1997, dirumuskan bahwa:
·        Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun 1500-an (abad XVI), dan diterima oleh masyarakat di pesisir pantai selatan Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)
·           Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab (Mekkah).

4.    Versi Jawa
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan bahwa orang Papua yang pertama masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan siti hawa farouk yakni seorang mublighat asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti nama menjadi Bayajid, diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga Arfan yang pertama masuk Islam.

5.    Versi Banda
Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khusunya di Fakfak dikembagkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui banda yang diteruskan ke fakfak melalui seram timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama haweten attamimi yang telah lama menetap di ambon. Microb juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakuka oleh dua orang mubaligh dari banda yang bernama salahuddin dan jainun, yaitu proses pengIslamanya dilakukan dengan cara khitanan, tetapi dibawah ancaman penduduk setempat yaitu jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.

6.    Versi Bacan
Kesultanan bacan dimasa sultan mohammad al-bakir lewat piagam kesiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau moloku kie raha (empat kerajaan Maluku: ternate, tidore, bacan, dan jailolo) lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui keturunannya keseluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, philipina, Kalimantan, nusa tenggara, Jawa dan Papua.
Menurut Arnold, raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang memerintah tahun 1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah barat lautnya, seperti waigeo, misool, waigama dan salawati. Kemudian sultan bacan meluaskan kekuasaannya sampai ke semenanjung onin fakfak, di barat laut Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau – pulau tadi memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat pedalaman masih tetap menganut animisme, tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.
Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti – bukti peninggalan nama – nama tempat dan keturunan raja bacan yang menjadi raja – raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil di kepulauan raja ampat itu.

7.    Versi Ternate dan Tidore
Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur ( Sultan Tidore X atau sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar ( Papua ). Setelah tiba di wilayah pulau Misool, raja ampat, maka sultan ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putra sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan dikepulauan Raja Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, kerajaan Misool/kerajaan Sailolof, kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain – lain.
Di peluknya Islam oleh masyarakat Papua terutama didaerah pesisir barat pada abad pertengahan XV tidak lepas dari pengaruh kerajaan – kerajaan Islam di Maluku ( Bacan, Ternate dan Tidore ) yang semakin kuat dan sekaligus kawasan tersebut merupakan jalur perdagangan rempah – rempah ( silk road ) di dunia. Sebagaimana ditulis sumber – sumber barat, Tome pires yang pernah mengunjungi nusantara antara tahun 1512-1515 M. dan Antonio Pegafetta yang tiba di tidore pada tahun 1521 M. mengatakan bahwa Islam telah berada di Maluku dan raja yang pertama masuk Islam 50 tahun yang lalu, berarti antara tahun 1460-1465. Berita tersebut sejalan pula dengan berita Antonio Galvao yang pernah menjadi kepala orang – orang Portugis di Ternate (1540-1545 M). mengatakan bahwa Islam telah masuk di daerah Maluku dimulai 80 atau  90 tahun yang lalu.   
proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren dan lain sebagainya, akan tetapi jalur yang paling utama dalam proses Islamisasi di nusantara ini melalui jalur perdagangan, dan pada akhirnya melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas hanya di sekitar kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru itu.
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua ini, sebagai berikut:
·         terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.
·         tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
·         Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid kuno.
·         Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno brhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1912 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
·         Masjid Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe.
Pengaruh Islam terhadap penduduk Papua dalam hal kehidupan social budaya memperoleh warna baru, Islam mengisi suatu aspek cultural mereka, karena sasaran pertama Islam hanya tertuju kepada soal keimanan dan kebenaran tauhid saja, oleh karena itu pada masa dahulu perkembangan Islam sangatlah lamban selain dikarnakan pada saat itu tidak generasi penerus untuk terus mengeksiskan Islam di pulau Papua, dan merekapun tiadak memiliki wadah yang bias menampungnya.
Namun perkembangan Islam di Papua mulai berjalan marak dan dinamis sejak irian jaya berintegrasi ke Indonesia, pada saat ini mulai muncul pergerakan dakwah Islam, berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebArab Islam yang cepat di seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti muhammadiyah, nahdhalatu ulama, LDII, dan pesantren-pesantren dengan tradisi ahli sunnah wal jamaah.
  
Kesimpulan
Selama ini persepsi yang berkembang di masyarakat yaitu penduduk Papua identik dengan penduduk yang memeluk agama Kristen dan katolik, padahal pada kenyataannya Islamlah yang pertama datang ke Papua, yaitu sekitar abad XV, sedangkan Kristen dan katolik baru dikenalkan oleh para zending dan misionaris pada pertengahan abad XIX di tanah Papua. Sangat di sayangkan, pada saat itu agama Islam tidak memiliki wadah yang dapat mengembangkan ajaran Islam lebih lama di tanah Papua sehingga tidak ada penerus – penerusnya. Islam di Papua berkembang di sekitar pesisir, Fakfak, Sorong, Misool, Mimika, dan lain – lain. Dalam hal dakwah Islam melalui beberapa jalur yaitu : perdagangan, pendirian mesjid, perkawinan dan peperangan.
Daftar Pustaka
Monografi daerah Irian Jaya. Proyek media kebudayaan departemen pendidikan dan kebudayaan.
Santoso, s budhi, dkk. Masyarakat terasing amungme di Irian Jaya. CV eka putra. 1995.
Wanggai, toni victor M. Rekonstruksi Sejarah Umat slam di Tanah Papua. Badan litbang dan diklat departemen agama RI. 2009.
Http://Islamthis.wordpress.com.
Http://www.papuabaratnews.com

Hubungan Erat Papua dan Aceh


Siapa nyana, Papua pernah diterjang tsunami yang menenggelamkan sebuah Kerajaan besar Islam. Yang terselamatkan hanyalah mushaf tua. Kini, mushaf yang hilang itu telah kembali.

Ada hal yang menarik, saat Sabili melakukan perjalanan jurnalistik ke Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dari sejumlah tokoh masyarakat yang dijumpai, ternyata, tak ada keseragaman pendapat saat mereka bercerita tentang sejarah masuknya Islam di Tanah Papua. Acapkali terjadi perdebatan panjang dari berbagai kalangan, baik masyarakat, agamawan maupun akademisi.

Pembentukan Panitia Seminar Penetapan Sejarah Masuknya Agama Islam di Bumi Papua, khususnya di Kabupaten Fakfak, nampaknya menemui jalan buntu. Hal tersebut disebabkan kurangnya dukungan data/fakta otentik, baik pada tataran penyebarannya maupun pada fase perkembangannya.

Sebagai sebuah kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masyarakat Fakfak memerlukan sebuah dokumen sejarah untuk dapat mengungkapkan tentang masuknya agama Islam di Kabupaten Fakfak sehingga dapat memperkuat eksistensi serta peran Islam di Kabupaten Fakfak, sekarang dan masa yang akan datang.

Ketika bicara tentang wilayah manakah di Tanah Papua yang pertama kali mendapat sentuhan syiar Islam, banyak versi yang mengungkapnya, masing-masing wilayah punya cerita yang berbeda. Karena itu perlu di telusuri jejak historisnya dengan melakukan penelitian ilmiah dan studi-studi intensif, bukan berdasarkan pandangan masyarakat yang telah di pengaruhi oleh pemikiran mistik atau cerita-cerita rakyat (legenda) dan paham-paham (mitos) yang dapat mengaburkan Historiografi Islam di Tanah Papua.

Ketiadaan literatur tertentu tentang Historiografi Islam di Tanah Papua untuk memahami proses penyebaran dan perkembangannya, mendorong para peneliti menelusuri catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan non-Muslim (Barat) ihwal penyebaran agama Islam di bumi cendrawasih ini. Setidaknya, catatan-catatan perjalanan itu dapat dijadikan referensi awal dalam penyusunan Historiografi Islam di Tanah Papua.


Perjalanan Mushaf Tua



Sebelum wafat, Syekh Iskandar Syah (Sultan Kerajaan Pasai) mengamanatkan kepada keturunannya agar mengembalikan mushaf (al-qur’an) kepada keturunan Raja Patipi di Papua (ketika itu disebut Kerajaan Mes). Seorang keturunan Iskandar Syah yang bernama Burhanudin, kemudian menyerahkan mushaf itu ke Jakarta melalui Ustadz Fadzlan Garamatan setelah menghilang selama kurang lebih 800 tahun. Kini mushaf tua itu disimpan oleh H Ahmad Iba di kediamannya di Fakfak. Ahmad Iba adalah Raja Patipi ke-XVI yang diamanahkan untuk menyimpan lima buah manuskrip berbentuk kitab dengan berbagai ukuran.

Yang terbesar berukuran sekitar 50x40 cm, berupa mushaf al-qur’an tulisan tangan. Mushaf itu ditulis di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi seperti sebuah kitab di zaman sekarang. Empat lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid dan kumpulan doa. Ada “tanda tangan” dalam kitab itu berupa gambar tapak tangan dengan jari terbuka. Tapak tangan yang sama juga dijumpai di Teluk Etna (Kaimana) dan Merauke.

Sedangkan tiga kitab berikutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontar, di Fakfak disebut daun pokpok.

Berdasarkan cerita turun temurun, lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua tahun 1214. Dalam rangka penyebaran agama Islam, kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh Iskandar Syah dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang datang menyertai rombongan ekspedisi Kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat Mes yang berada di wilayah Kerajaan Teluk Patipi saat itu. Jika diperkirakan, al-qur’an itu sudah ada sejak 800 tahun yang lalu

Menurut Muhammad Sya’ban Garamatan (tokoh masyarakat Fakfak) yang didampingi oleh Ahmad Iba dan Fadzlan Garamatan, ketika Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, Syekh Abdul Rauf yang merupakan putra ke-27 dari waliyullah Syekh Abdul Qadir Jailani dari Kerajaan Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua). Sekitar abad ke-12, 17 Juli 1224 , tibalah Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes -- kini masuk wilayah Kabupaten Fakfak, tepatnya di distrik Kokas. Orang pertama yang diajarkan Iskandar Syah adalah seorang yang bernama Kriskris.

“Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan, jika kamu maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad). Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja di Patipi pertama.”

Jadi yang bawa mushaf ini, kata Sya’ban Garamatan, bukan Sultan Iskandar Syah. Tapi salah satu dari keturunannya, namanya sama, yakni Syekh Iskandar Syah. Sampai ke Teluk Patipi, mushaf ini sudah dalam bentuk seperti ini.

Beberapa tahun kemudian, masih abad ke-12, bencana alam tsunami menenggelamkan Mes, sehingga menyebabkan sebagian penduduk dan seluruh kerajaan Mes habis musnah, tak terkecuali masjid dan isinya tenggelam di dasar laut, kecuali mushaf al-qur’an dan sejumlah Kitab Fiqih-Tauhid. Yang menyelamatkan mushaf tersebut adalah Tuan Syekh Iskandar Syah.

Bagaimana al-qur’an ini bisa terselamatkan? “Kitab ini dibawa kembali ke Aceh oleh Iskandar Syah. Sebelum ke Aceh, konon, kitab ini sempat singgah di Maluku, tepatnya Kampung Sinisore. Menurut kepercayaan masyarakat kampung Sinisore, Islam masuk bukan dari Arab, tapi dari Papua. Bahkan, konon, mushaf ini juga sampai ke Kalimantan karena dianggap membawa berkah. Singkatnya, al-qur’an berikut dengan kitab tauhid dan fiqih terselamatkan, dan disimpan di Aceh oleh keturunan keluarga Syekh Iskandar Syah, bernama Burhanuddin.”

Menurut cerita, pasca bencana, Syekh Iskandar Syah kembali ke Mes tanpa membawa mushaf. Iskandar Syah kemudian wafat di sini, makamnya berada di Pulau Kokorap, Batu Kudus. Konon, ia sendiri yang menggali kuburnya, setelah itu wafat di tempat itu pula. Bahkan sebelum wafat, beredar cerita di masyarakat setempat, ia mandi dan mengkafani dirinya sendiri di dasar laut yang dalamnya mencapai 3 meter. Begitulah cara wafat pembawa al-qur’an pertama di Papua, tepatnya di Fakfak (distrik Kokas yang dulu bernama Mesia atau Mes).

“Pastinya, makam Syekh Iskandar Syah ada di dasar laut. Sebagai simbolik, dibuat makamnya di darat. Inilah bukti otentik Islam masuk ke Fakfak. Selama ini banyak daerah lain mengaku-ngaku Islam masuk ke wilayahnya, tapi tak punya bukti otentik,” tukas Sya’ban Garamatan.


Mushaf itu Telah Kembali

Setelah bencana, Kerajaan Mes kemudian terbentuk lagi, penduduk yang terselamatkan kemudian turun ke Teluk Patipi (awalnya disebut kampung Patupa, kini Patipi I). Seorang keturunan Syekh Iskandar Syah yang bernama Burhanuddin seperti mendapat petunjuk melalui mimpinya. Dalam mimpinya itu, Burhanudin didatangi leluhurnya dan memintanya agar mengembalikan mushaf itu ke Papua, tepatnya kepada anak keturunan Raja Kriskris, raja pertama yang menganut Islam di Papua dan kemudian menjadi imam di wilayahnya.

Kontak batin pun terjadi. Tanggal 17 Juli 2004, atau enam bulan sebelum musibah tsunami di Aceh (26 Desember 2004), Burhanudin bertemu dengan Ustadz Fadzlan Garamatan, dai asal Fakfak, yang menjadi wakil keluarga Raja Teluk Patipi. Saat itu, Jakarta disepakati sebagai tempat bertemu. Subhanallah, kedua keturunan raja itu pun seperti menemukan rangkaian yang selama ini mereka cari untuk melengkapi sejarah yang hilang.

Saat serah terima, Burhanudin menyatakan, ini amanat dari Tuan Syekh Iskandar Syah, sewaktu-waktu mushaf ini harus dikembalikan ke tempat asalnya. Selanjutnya, Ustadz Fadzlan menyerahkan mushaf ini kepada Ahmad Iba (Raja Teluk Patipi XVI) untuk disimpan dan dijaga dengan baik. “Kitab ini memang harus disimpan oleh keturunan Raja Patipi. Sebab, jika kitab ini dipegang dengan orang yang bukan ahli warisnya atau keturunannya, bisa-bisa orang itu jadi gila,” kata Ahmad Iba memperingati.

Siapa kira, mushaf itu kembali terselamatkan untuk kedua kalinya dari bencana alam tsunami Aceh. “Sejak tsunami menimpa Papua, tepatnya di wilayah Mes, kami sebagai masyarakat Muslim Papua sudah intropeksi diri sebelum bencana tsunami menimpa Aceh,” ujarnya. Wallahu a’lam bishshawab. (Adhes Satria/Sabili)