Friday, August 21, 2015

Para pekerja yang terkena PHK sudah bisa memproses pencairan JHT-nya pada 1 September 2015

Jakarta -Pemerintah sudah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2015 soal Jaminan Hari Tua (JHT). Kini peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan bisa mencairkan JHT jika tak lagi bekerja.

"Alhamdulillah sudah selesai. Dilakukan revisi menjadi PP No. 60 tahun 2015. Ditindaklanjuti oleh Permen No. 19 Tahun 2015 Tentang tata cara dan persyaratan pembayaran JHT," kata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri saat jumpa pers di Kementerian Ketenagakerjaan, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Timur, Kamis (20/8/2015).

Peserta yang tidak lagi bekerja termasuk yang keluar kerja dengan sengaja (resign) atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Poin utama dari revisi PP JHT kontennya sama. Para pekerja yang terkena PHK atau yang berhenti bekerja bisa mencairkan jaminan hari tuanya satu bulan setelah berhenti bekerja," ujarnya.

Selain itu, peserta juga bisa mencairkan dana JHT jika akan meninggalkan Indonesia dan bekerja di luar negeri. Dalam aturan sebelumnya, dana JHT hanya bisa dicairkan penuh setelah peserta berumur 56 tahun.

"Peraturan teknis pencairan JHT diatur BPJS Ketenagakerjaan Mulai 1 September 2015. Para pekerja yang terkena PHK sudah bisa memproses pencairan JHT-nya pada 1 September 2015," katanya.

Ia mengatakan, revisi PP ini dilakukan karena pemerintah responsif terhadap masalah tenaga kerja yaitu soal PHK dan kesempatan kerja.

"Bukan karena pemerintah keliru atau melakukan kesalahan, tetapi lebih karena mengakomodir keluhan atau aspirasi para pekerja," tambahnya.
(dtc)

Thursday, August 13, 2015

Sumut Punya Potensi untuk Tarik Wisatawan


(Analisa/rizal r surya) RAKERDA: Ketua BPD PHRI Sumut Denny S Wardhana (tengah), Ketua Bidang Organisasi BPP PHRI  Maulana Yusran (kanan) dan moderator Dewi Juita Purba (kiri), pada pembukaan Rakerda PHRI Sumut di Karibia Boutique Hotel Medan, Kamis (13/8).
Medan, (Analisa). Wakil Ketua Bidang Orga­nisasi Badan Pimpinan Pusat (BPP) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yus­­­ran mengatakan, Sumatera Utara me­mi­liki po­tensi yang sangat besar untuk mena­rik minat wisatawan ber­kunjung.
“Sumatera Utara sudah  punya hub inter­na­sional yaitu Bandar Udara (Bandara) Kua­la­­namu. Kemudian memiliki keindahan alam yang luar biasa dan modal kekayaan budaya yang beragam,” ujarnya saat memberi sam­butan pada Halal­biha­lal Badan Pengurus Daerah (BPD) Sumut di Ka­ri­bia Bou­tique Hotel Jalan Timor, Kamis (13/8).
Hal senada juga disam­paikannya saat mem­­berikan pengarahan pada Rapat Kerja Daerah (Rakerda) I PHRI Sumut di hotel yang sama. Kedua kegiatan tersebut ber­te­ma, ‘Bersama Membangun Pariwisata Su­ma­tera Utara’.
Kesempatan untuk mening­katkan kun­jung­an wisatawan khususnya asing kata Mau­lana, se­ma­kin terbuka lebar karena peme­rin­tah telah mem­bebaskan visa untuk 30 negara. “Peluang ini harus kita ambil jangan sampai ketinggalan,” tegasnya.
Ia mengakui memang saat ini kondisi pere­konomian sedang sulit yang juga terimbas  pada sektor pariwisata. Mes­kipun demikian dengan adanya kerja sama antara pemangku kepentingan dengan melakukan berbagai upaya seperti pro­mosi dan menambah tujuan wisata (destinasi) baru, tingkat kun­jungan bisa ditingkatkan.
Agenda tetap
Pada kesempatan itu ia minta PHRI Sumut untuk membuat agenda tetap  kegiatan-kegia­tan yang ada di daerah ini. “Tahun ini ada ke­giatan yang dibuat pada Agustus.Tapi ta­hun ber­ikutnya berpindah ke bulan lain. Ke­giatan seperti ini sulit dipro­mosikan,” te­gasnya.
Karena itu ia berharap agar ke depannya dibuat agenda yang jadwalnya tidak berubah setiap tahun. Hal ini tentunya harus beker­jasama dengan peme­rintah daerah baik pro­vinsi maupun kabupaten/kota.
“Kita harus memberikan masukan kepada pemerintah daerah-daerah mana yang layak dan bisa dikembangkan men­jadi daerah tu­juan wisata (DTW) karena kita bersama pe­mangku kepentingan lain yang tahu hal ini,” ujarnya.
Terakhir ia berharap kepada PHRI Sumut un­tuk menjadi pelopor informasi Meetings, Incen­tives, Conferencing, Exhi­bitions (MICE). “Untuk itu kita harus membuat da­tabase hotel-hotel yang ada di daerah ini, berapa jumlah kamar, jenis kamarnya serta ruang-ruang pertemuan yang ada.
Sementara itu Ketua BPD PHRI Sumatera Utara Denny S Wardhana mengakui kondisi perhotelan di daerah ini sedang dalam ke­ada­an sulit. Meskipun demikian ia ber­harap se­mua tetap optimis untuk menghadapi kondisi yang ada dengan melakukan berbagai upaya agar tetap bisa bertahan.
Turut memberikan sambutan Kepala Di­nas Pariwisata dan Pariwisata Sumut diwa­kili Husein Ritonga. Hadir pada kesempatan itu Dirut PD Per­hotelan Sumut Cahyo Pra­mono, Hendra Arbi dan para anggota PHRI se-Sumut. (rrs)

Sunday, August 2, 2015

Akses WhatsApp Via Handphone

Berikut cara mengakses WhatsApp anda melalui Ponsel; hape; gadget anda

1). Silahkan Buka Websitenya melalui Browser anda
https://web.whatsapp.com/
2). Maka akan terbuka Web WhatsApp di layar seperti berikut :



3). Silahkan Pilih Gadget yang anda gunakan untuk login WhatsApp saat ini
4). Lalu Buka WhatsApp di Ponsel anda, > Pilih MENU, > WhatsApp Web
5). Scan Barcode yang muncul di Layar PC anda
6). Finish

Saturday, August 1, 2015

Profil Kotamadya Langsa

Profil

Nama Resmi
:
Kota Langsa
Ibukota
:
Langsa
Provinsi 
:
Aceh
Batas Wilayah

:

Utara: Selat MalakaSelatan: Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur
Barat: Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur
Timur: Kecamatan Manyak Payed Kabupaten Aceh Tamiang
Luas Wilayah
:

262,41 Km²
Jumlah Penduduk
:

178.334 Jiwa 
Wilayah Administrasi
:
Kecamatan : 5, Kelurahan : -, Desa : 66
Alamat Kantor
:

Jl. Ahmad Yani, Langsa
Telp.(0641)-21839
Website
:


(Permendagri No.39 Tahun 2015)

Sejarah


Sebelum Ditetapkan Menjadi Kota, Langsa Adalah Bagian Dari kabupaten Aceh Timur Yang Ibukota Kabupatennya adalah langsa dan Merupakan Kota Administratif Yang Dibentuk Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 Tanggal 22 Oktober 1991, dan Diresmikan Oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Pada Tanggal 2 April 1992. 

Kemudian, sesuai dengan perkembangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik dari segi Budaya, Politik dan Ekonomi, Propinsi ini Semakin Dituntut Mengembangkan diri, Khususnya dari segi Pemerintahan sehingga pada Tahun 2001 terbentuklah Kota Langsa yang merupakan Pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juni 2001 dan Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2001 Oleh Menteri dalam Negeri Atas Nama Presiden Republik Indonesia, Pejabat Walikota Pertama Yaitu H. Azhari Aziz, SH, MM yang dilantik Oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada Tanggal 2 Nopember 2001 di Banda Aceh. Dan sebagai Walikota Definitif Hasil Pilkadasung 2006 adalah Drs. Zulkifli Zainon, MM yang dilantik oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 14 Maret 2007 di Langsa. 

Pada awal terbentuknya Kota Langsa terdiri dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Langsa Barat, Kecamatan Langsa Kota dan Kecamatan Langsa Timur dengan Jumlah Desa Sebanyak 45 Desa (Gampong) dan 6 Kelurahan. Kemudian dimekarkan menjadi 5 Kecamatan Berdasarkan Qanun Kota Langsa No 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Langsa lama dan Langsa Baro. 

Arti Logo


**

Nilai Budaya

Profil Aceh Tamiang

Profil

Nama Resmi:Kabupaten Aceh Tamiang
Ibukota:Karang Baru
Provinsi :Aceh
Batas Wilayah:
Utara: Kota Langsa dan Selat MalakaSelatan: Kabupaten Gayo Lues dan Provinsi Sumatera Utara
Barat: Provinsi Sumatera Utara
Timur: Kabupaten Aceh Timur
Luas Wilayah:1.956,72  Km²
Jumlah Penduduk:275.397 Jiwa
Wilayah Administrasi:Kecamatan : 12, Kelurahan : -, Desa : 213
Website
:


(Permendagri No.39 Th.2015)

Sejarah

**

Arti Logo


**

Nilai Budaya

Profil Kabupaten Langkat

Profil

Nama Resmi:Kabupaten Langkat
Ibukota:Stabat
Provinsi :Sumatera Utara
Batas Wilayah:
Utara: Prov. Nangro Aceh Darussalam (NAD)
Selatan: Kabupaten Karo
Barat: Prov. NAD dan Tanah Alas
Timur: Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai
Luas Wilayah:
6.262,00 km2
Jumlah Penduduk:1.030.834 Jiwa 
Wilayah Administrasi:
Kecamatan : 23, Kelurahan : 37, Desa : 240
Website:




(Permendagri No.39 Tahun 2015)

Sejarah

A. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang
Pada masa Pemerintahan Belanda, Kabupaten Langkatmasihberstatuskeresidenan dan kesultanan (kerajaan) dengan pimpinan pemerintahan yang disebut Residen dan berkedudukan di Binjai dengan Residennya Morry Agesten. Residen mempunyai wewenang mendampingi Sultan Langkat di bidang orang-orang asing saja sedangkan bagi orang-orang asli (pribumi) berada di tangan pemerintahan kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh :
  1. Sultan Haji Musa Almahadamsyah 1865-1892
  2. Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah 1893-1927
  3. Sultan Mahmud 1927-1945/46
Dibawah pemerintahan Kesultanan dan Assisten Residen struktur pemerintahan disebut LUHAK dan dibawah luhak disebut Kejuruan (Raja kecil) dan Distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (Raja kecil Karo) yang berada didesa. Pemerintahan luhak dipimpin seorang Pangeran, Pemerintahan Kejuruan dipimpin seorang Datuk, Pemerintahan Distrik dipimpin seorang kepala Distrik, dan untuk jabatan kepala kejuruan/Datuk harus dipegang oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya.
Pemerintahan Kesultanan di Langkat dibagi atas 3 (tiga) kepala Luhak
  1. Luhak Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dipimpin oleh T.Pangeran Adil. Wilayah ini terdiri dari 3 Kejuruan dan 2 Distrik yaitu :
    • Kejuruan Selesai
    • Kejuruan Bahorok
    • Kejuruan Sei Bingai
    • Distrik Kwala
    • Distrik Salapian
  2. Luhak Langkat Hilir, yang berkedudukan di Tanjung Pura dipimpin oleh Pangeran Tengku Jambak/T.Pangeran Ahmad. Wilayah ini mempunyai 2 kejuruan dan 4 distrik yaitu :
    • Kejuruan Stabat
    • Kejuruan Bingei
    • Distrik Secanggang
    • Distrik Padang Tualang
    • Distrik Cempa
    • Distrik Pantai Cermin
  3. Luhak Teluk Haru, berkedudukan di Pangkalan Berandan dipimpin oleh Pangeran Tumenggung (Tengku Djakfar). Wilayah ini terdiri dari satu kejuruan dan dua distrik.
    • Kejuruan Besitang meliputi Langkat Tamiang dan Salahaji.
    • Distrik Pulau Kampai
    • Distrik Sei Lepan
Awal 1942, kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda beralih ke Pemerintahan jepang, namun sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan, hanya sebutan Keresidenan berubah menjadi SYU, yang dipimpin oleh Syucokan. Afdeling diganti dengan Bunsyu dipimpin oleh Bunsyuco Kekuasaan Jepang ini berakhir pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17-08-1945.

B. Masa Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Sumatera dipimpin oleh seorang Gubernur yaitu Mr.T.M.Hasan, sedangkan Kabupaten Langkat tetap dengan status keresidenan dengan asisten residennya atau kepala pemerintahannya dijabat oleh Tengku Amir Hamzah, yang kemudian diganti oleh Adnan Nur Lubis dengan sebutan Bupati.

Pada tahun 1947-1949, terjadi agresi militer Belanda I, dan II, dan Kabupaten Langkat terbagi dua, yaitu Pemerintahan Negara Sumatera Timur (NST) yang berkedudukan di Binjai dengan kepala Pemerintahannya Wan Umaruddin dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedudukan di Pangkalan Berandan, dipimpin oleh Tengku Ubaidulah.

Berdasarkan PP No.7 Tahun 1956 secara administratif Kabupaten Langkat menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan kepala daerahnya (Bupati) Netap Bukit.
Mengingat luas Kabupaten Langkat, maka Kabupaten Langkat dibagi menjadi 3 (tiga) kewedanan yaitu :
  1. Kewedanan Langkat Hulu berkedudukan di Binjai
  2. Kewedanan Langkat Hilir berkedudukan di Tanjung Pura
  3. Kewedanan Teluk Haru berkedudukan di Pangkalan Berandan.
Pada tahun 1963 wilayah kewedanan dihapus sedangkan tugas-tugas administrasi pemerintahan langsung dibawah Bupati serta Assiten Wedana (Camat) sebagai perangkat akhir.
Pada tahun 1965-1966 jabatan Bupati Kdh. Tingkat II Langkat dipegang oleh seorang Care Taher (Pak Wongso) dan selanjutnya oleh Sutikno yang pada waktu itu sebagai Dan Dim 0202 Langkat. Dan secara berturut-turut jabatan Bupati Kdh. Tingkat II Langkat dijabat oleh:
  1. T. Ismail Aswhin 1967 – 1974
  2. HM. Iscad Idris 1974 – 1979
  3. R. Mulyadi 1979 – 1984
  4. H. Marzuki Erman 1984 – 1989
  5. H. Zulfirman Siregar 1989 – 1994
  6. Drs. H. Zulkifli Harahap 1994 – 1998
  7. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH 3-9-1998 s/d 20-2-1999
  8. H. Syamsul Arifin, SE 1999-2009
  9. Ngogesa Sitepu : 2009 s/d sekarang

Arti Logo

Pengertian Lambang (Bentuk Lambang)
  1. Sebuah bintang berwarna emas dan kuning gading melambangkan dasar falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
  2. Perisai berwarna kuning gading dan 2 buah bambu warna kuning gading melambangkan perjuangan rakyat mencapai kemerdekaan RI yang berdasarkan Pancasila.
  3. Untaian padi dan kapas (17 dan 8) melambangkan tanggal 17 bulan 8 tahun 1945 dan keseluruhannya berarti melambangkan kesejahteraan rakyat.
  4. Tapak sirih warna coklat muda dan hiasannya coklet tua melambangkan kebudayaan dan adat istiadat Langkat.
  5. Sampan nelayan dengan warna layarnya coklat muda dan badannya warna hitam, melambangkan bahwa daerah Langkat berpantai luas rakyat bersemangat bahari.
  6. Keris berwarna putih dan gagangnya berwarna coklat tua, melambangkan semangat patriotisme rakyat Langkat.
  7. Pita berwarna merah tulisannya "Kabupaten Langkat" berwarna putih menyatakan Daerah Langkat.
B. Arti Warna
  1. Hijau              : lambang kemakmuran (dasar lambang)
  2. Kuning Emas   : lambang kebesaran jiwa dan kemurnian adat
  3. Kuning Gading : lambang kejayaan
  4. Merah             : lambang semangat yang menyala-nyala
  5. Biru Air           : lambang kecintaan kesetianan pada tanah
  6. Putih              : lambang kesucian dan kemurnian
  7. Coklat            : lambang kepribadian/ kesuburan tanah langkat
  8. Hijau              : lambang kejujuran dan keteguhan

Nilai Budaya

Kabupaten Langkat yang luasnya mencapai 6.262,00 km2 memiliki potensi wisata yang lengkap dan beragam, mulai dari wilayah pesisir pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi. Para wisatawan bisa leluasa memilih objek wisata mana yang hendak dituju. Semua menjanjikan pengalaman yang mengesankan.
    Kabupaten Langkat juga kaya akan aliran sungai yang pada umumnya berasal dari Dataran Tinggi Gayo dan Bukit Barisan yang bermuara ke Selat Sumatera. Karena itu, Kabupaten Langkat memiliki potensi yang sangat besar di bidang pariwisata alam. Selain itu, sebagai bekas wilayah Kerajaan Langkat, Kabupaten Langkat memiliki berbagai peninggalan sejarah dan budaya masa lalu. Karena itu, wilayah ini pun memiliki potensi pariwisata budaya yang luar biasa.
    Objek wisata yang ada di Kabupaten Langkat sangat menjanjikan untuk dijadikan sebagai tempat rekreasi, hiburan, menambah pengetahuan, maupun ziarah (wisata religi). Banyaknya ragam objek wisata yang ada di wilayah ini, tentunya memberikan banyak pilihan kepada wisatawan. Apalagi objek-objek wisata yang tersebar di Kabupaten Langkat tersebut ditunjang oleh sarana transportasi dan akomodasi yang memadai, sehingga wisatawan benar-benar dapat bersantai tanmpa khawatir kekurangan fasilitas penunjang pariwisata.

Profil Kabupaten Karo

Profil

Nama Resmi:Kabupaten Karo
Ibukota:Kabanjahe
Provinsi :Sumatera Utara
Batas Wilayah:
Utara: Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli SerdangSelatan: Kabuapten Dairi dan Kabuapten Toba SamosirBarat: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Timur: Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun
Luas Wilayah:2.127,00 Km²
Jumlah Penduduk:393.544 Jiwa 
Wilayah Administrasi
Alamat Website
:

:
Kecamatan : 17, Kelurahan : 10, Desa : 225


( Permendagri No.39 Tahun 2015 )

Sejarah

Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan.
Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga.
Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan.
Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni:
  1. Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat.
  2. Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan. 
Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu” dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana antara lain dapat dibaca…………jabatan Raja-raja Urung dan Pengulu akan diwarisi oleh turunan langsung yang sekarang ada memegang jabatan itu………... 
Marilah kembali melihat sistem pergantian Perbapaan Urung dan Pengulu Kesain, sebelum datangnya penjajahan Belanda ke daerah dataran Tinggi Tanah Karo. 
Yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. 
Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi. 
Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah sebagai Perbapaan Raja. 
Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak, misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang seketurunan. 
Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut. 
Seperti diuraikan di depan, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu yang dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”, maka jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun. 
Dengan  sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika Karo berada dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah Karo. 
Seiring dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan Belanda identik dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan memberikan tanah secara tak semena-mena  untuk jangka waktu 99 tahun (kemudian konsensi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran dan penderitaan penduduk melahirkan perang sunggal yang berkepanjangan (1872-1895) yang juga dikenal sebagai perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam perang tersebut orang Melayu dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau.
Di satu pihak ada persoalan antara Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena Sultan Deli memberikan konsensi kepada Maskapai Belanda untuk membuka perkebunan dan daerah Sunggal termasuk di dalamnya. Perlawanan rakyat Sunggal dipimpin oleh Datuk Kecil  (Datuk Muhammad Dini), Datuk Abdul Jalil dan Datuk Sulung Barat.Bantuan dari tanah karo dipusatkan di kampung Gajah. Tokoh Karo yang sangat terkenal dalam peperangan ini adalah Langgah Surbakti, berasal dari kampung Susuk Tanah Karo  dan Nabung Surbakti, dikenal sebagai Penghulu Juma Raja. Karena hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan, pihak Belanda mengirim ekspedisi ke Sunggal sampai tiga kali. Akibat peperangan itu, di pihak tentara Belanda banyak jatuh korban. Serdadu berkebangsaan Eropah tewas 28 orang dan serdadu Bumi Putra tewas 3 orang. Yang luka-luka, serdadu Eropah 320 orang dan serdadu Bumi Putra 270  orang. 
Pekabaran injil ke Tanah Karo (1894) tidak terlepas dari kerusuhan-kerusuhan perkebunan tersebut. Pihak perkebunan mengharapkan bahwa gangguan-gangguan orang Karo akan dapat dipadamkan melalui pekabaran injil, jadi yang membiayai misionari (Nederlands Zendilingsgenotschap), ke karo adalah pihak perkebunan, diprakarsai oleh J.TH Gremers, Direktur Perkebunan tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. 
Garamata yang mengadakan perlawanan pada awal abad ini (1901-1905) juga berpendapat bahwa jika Belanda dibiarkan ke Tanah karo maka tanah rakyat mungkin sekali diambil untuk perkebunan. Pikiran ini didasarkan pada pengalaman orang Karo di dataran rendah, di Deli dan Langkat. Selanjutnya dia juga berpendapat bahwa orang Karo mempunyai cara hidupnya sendiri  dan istiadatnya sendiri dan tidak perlu dicampuri oleh orang Belanda (lihat Masri Singarimbun, Garamata: Perjuangan melawan Penjajah Belanda, 1901-1905, Balai Pustaka, Jakarta, 1992). Namun kekuatan Belanda yang begitu besar tidak dapat dibendung. 
Sebelumnya pembangkangan yang sangat terkenal dilakukan oleh Sibayak Pa Tolong atau Sibayak Kuta Buluh, yang melakukan pembangkangan terhadap pembayaran pajak kepada Belanda (lihat Bab VI buku Darwan Prinst dan Darwin Prinst: Sejarah dan Kebudayaan Karo, Penerbit Grama Jakarta, 1985).


Arti Logo


UIS BEKA BULUH, Lambang kepemimpinan
BINTANG LIMA, Melambangkan bahwa suku Karo terdiri dari lima merga, kemudian dipadukan dengan tiang bambu yang terdiri dari empat buah sehingga menyatu dengan tahun Kemerdekaan R.I
PADI, Melambangkan Kemakmuran yang terdiri dari 17 butir sesuai dengan tanggal kemerdekaan R.I
BUNGA KAPAS, Lambang keadilan sosial, cukup sandang pangan yang terdiri dari 8 buah sesuai dengan bulan kemerdekaan R.I
KEPALA KERBAU, Melambangkan semangat kerja dan keberanian
TUGU BAMBU RUNCING, Melambangkan patriotisme dan kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan R.I
MARKISA, KOL dan JERUK, Melambangkan hasil pertanian spesifik Karo yang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Karo
JAMBUR SAPO PAGE, Melambangkan sifat masyarakat Karo yagn suka menabung (tempat menyimpan padi)
UIS ARINTENENG, Lambang kesentosaan
RUMAH ADAT KARO, Melambangkan ketegaran seni, adat dan budaya Karo


Nilai Budaya

1.   Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa Karo. Suku Bangsa Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi Suku Bangsa Karo sendiri. Suku ini terdiri dari 5 (lima) Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu.
Orat Tutur Merga Silima
  1. Merga Bapa, jadi merga man anak sidilaki jadi beru man anak sidiberu
  2. Beru Nande, jadi bere-bere man anak sidilaki ras anak sidiberu
  3. Bere-bere Bapa, jadi binuang man anak sidilaki ras anak sidiberu
  4. Bere-bere Nande, jadi perkempun man anak sidilaki ras anak sidiberu
  5. Bere-bere Nini (Bulang) Arah Bapa, jadi kampah man anak sidilaki ras anak sidiberu
  6. Bere-bere Nini (Bulang) Arah Nande, jadi soler man anak sidilaki ras anak sidiberu

Berdasarkan Merga ini maka tersusunlah pola kekerabatan atau yang dikenal dengan Rakut Sitelu, Tutur Siwaluh dan Perkaden-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada.
Rakut Sitelua, yaitu:
- Senina/Sembuyak
- Kalimbubu
- Anak Beru
Tutur Siwaluh, yaitu:
- Sipemeren 
- Siparibanen 
- Sipengalon 
- Anak Beru 
- Anak Beru Menteri 
- Anak Beru Singikuri 
- Kalimbubu 
- Puang Kalimbubu
Perkaden-kaden Sepuluh Dua:
- Nini 
- Bulang 
- Kempu 
- Bapa 
- Nande 
- Anak 
- Bengkila 
- Bibi
- Permen 
- Mama 
- Mami 
- Bere-bere
Dalam perkembangannya, adat Suku Bangsa Karo terbuka, dalam arti bahwa Suku Bangsa Indonesia lainnya dapat diterima menjadi Suku Bangsa Karo dengan beberapa persyaratan adat.
2.   Masyarakat Karo terkenal dengan semangat keperkasaannya dalam pergerakan merebut Kemerdekaan Indonesia, misalnya pertempuran melawan Belanda, Jepang, politik bumi hangus. Semangat patriotisme ini dapat kita lihat sekarang dengan banyaknya makam para pahlawan di Taman Makam Pahlawan di Kota Kabanjahe yang didirikan pada tahun 1950.
3.   Penduduk Kabupaten Karo adalah dinamis dan patriotis serta taqwa kepada Tuhan Yang Esa. Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan.Dalam kehidupan masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh peraten) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian 3 (tiga) hal pokok yang disebut Tuah, Sangap, dan Mejuah-juah.
Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, mendapat keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas, gigih, disiplin dan menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk generasi yang akan datang.
Sangap berarti mendapat rejeki, kemakmuran bagi pribadi, bagi anggota keluarga, bagi masyarakat serta bagi generasi yang akan datang.
Mejuah-juah berarti sehat sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhannya. Ketiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.

Profil Kotamadya Binjai

Profil

Nama Resmi:Kota Binjai
Ibukota:Binjai
Provinsi :Sumatera Utara
Batas Wilayah:
Utara : Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak Kab.Deli SerdangSelatan : Kecamatan Sei Bingei Kab.Langkat dan Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli SerdangBarat Kecamatan Selesai Kab.Langkat
Timur : Kecamatan Sunggal Kabupaten Langkat dan Deli Serdang
Luas Wilayah:59,19 km²
Jumlah Penduduk:269.053 jiwa
Jumlah Kecamatan:Kecamatan : 5, Kelurahan : 37, Desa : -
Website:http://www.binjaikota.go.id
Permendagri No.39 Tahun 2015

Sejarah

Berdasarkan penuturan para orang tua yg dianggap mengetahui asal mula timbulyna Binjai, yang saat ini menjadi menjadi kota binjai,dahulunya adalah sebuah kampung kecil yang terletak di tepi sungai Bingai.Binjai sebanarnya adalah nama suatu pohon besar,rindang,tumbuh dengan kokoh di tepi sungai Bingai yang bermuara di Sungai Wampu.pada tahun 1823 Gubenur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang telah mengutus John Anderson untuk pergi ke pesisir Sumatera timur dan dari catatannya di sebutkan sebuah kampung yang bernama Ba Bingai (menurut buku Mission to The Eastcoast of sumatera-Edinbung 1826). Sebarnya sejak tahun 1822, Binjai telah di jadikan bandar/pelabuhan dimana hasil pertanian lada yang diekspor adalah berasal dari perkebunan lada di sekitar ketapangai (pungai) atau Kelurahan kebun Lada/Damai.

Perkembangan zaman terus berjalan,pada tahun1864 Daerah Deli telah dicoba ditanami tembakau oleh pioner Belanda bernama J.Nienkyis dan 1866 didirikan Deli Maatschappiy. Usaha unutuk menguasai Tanah Deli oleh orang Belanda tidak terkucuali dengan menggunakan politik pecah belah melalui pengangkatan datuk-datuk. Usaha ini diketahui oleh Datuk Kocik,Datuk Jalil dan Suling barat yang tidak mau berkerja sama dengan Belanda bahkan melakukan perlawanan. Bersamaan dengan itu Datuk Sunggal tidak menyetujui pembarian konsensi tanah kepada perusahaan Rotterdenmy oleh Sultan Deli karena tanpa persetujuan.Di bawah kepemimpinan Datuk Sunggal bersama rakyatnya di Timbang Langkat (Binjai) dibuat Benteng pertahanan untuk menghadapi Belanda.

Dengan tindakan datuk Sunggal ini Belanda merasa terhina dan memerintahkan kapten koops untuk menumpas para datuk yang menentang belanda. Dan pada 17 Mei 1872 terjadilah pertempuran yang sengit antara Datuk/masyarakat dengan belanda.peristiwa perlawanan ini lah yang menjadi tonggak sejarah dan di tetapkan sebagai hari kota binjai perjuangan para Datuk/rakyat terus berkobar dan pada akhirnya pada 24 Oktober 1872 Datuk Kocik,Datuk Jalil dan Suling barat dapat ditangkap belanda dan kemudian pada tahun 1873 di buang kecilacap. Pada tahun 1917 oleh pemerintah belanda di keluarkan Instelling Ordonantie No.12 dimana binjai di jadikan Gemente dengan luas 267 Ha.

Pada tahun 1942-1945 Binjai di bawah pemerintahan jepang dengan kepala pemerintahannya adalah kagujawa dengan sebutan guserbu dan tahun 1944 /1945 pemerintahan kota di pimpin oleh ketua Dewan Eksekutif J.Runnanbi dengan anggota Dr.RM Djulham,Natangsa Sembiring dan Tan Hong Poh.

Pada tahun 1945 (saat revolusi) sebagai kepala pemerintahan binjai adalah RM.Ibnu dan pada 29 Oktober 1945 T.Amir Hamzah diangkat menjadi residen Langkat oleh komite nasional dan pada masa pendudukan belnda 1947 binjai berada di bawah asisten residen J.Bunger dan RM.Ibnu sebagai wakil wali kota binjai pada tahun 1948 -1950 pemerintahan kota binjai di pegang oleh ASC More. Tahun 1950-1956 Binjai menjadi kota Abministratif kabupaten Langkat dan sebagai wali kota adalah OK Salamuddin kemudian T.Ubaidullah Tahun 1953-1956.Berdasar kan undang-undang Daruat No.9 Tahun 1956 kota Binaji menjadi otonom dengan wali kota pertama SS.Parumuhan.

Dalam perkembangan nya kota binjai sebagai salah satu daerah tingkat II di propinsi sumatera utara telah membenahi dirinyta dengan melakukan pemekaran wilayahnya. Semenjak ditetapkan peraturan pemerintah No.10 Tahun 1986 wilayah kota daerah kota Binjai telah di perluas menjadi 90,23 Km dengan 5 wilayah kecamatan yang terdiri dari 11 desa dan 11 kelurahan.setelah diadakan pemecahan desa dan kelurahan pada tahun 1993 maka jumlah desa menjadi 17 dan kelurahan 20.perubahan ini berdasarkan keputusan gubenur sumatra utara No.140-1395 /SK/1993 tanggal 3 Juni 1993 tentang pembentukan 6 desa persiapan dan kelurahan persiapan di kota Binjai. Berdasarkan SK gubenur sumatera utara No.146-2624/SK/1996 tanggal 7 Agustus 1996,17 desa menjadi kelurahan. 

Arti Logo


PENGERTIAN LAMBANG DAERAH
  • Pita merah putih melambangkan bendera pusaka dan kebangsaan Indonesia.
  • Bambu runcing kiri kanan perisai melambangkan perjuangan dan kepahlawanan rakyat yang heroik melawan penjajahan.
  • Pohon Binjai di tengah perisai melambangkan asal nama dari Kota Binjai.
  • Lima akar pohon melambangkan lima sila dari Pancasila.
  • Batang pohon dengan dua cabang melambangkan Pemerintah Kota Binjai terdiri dari Eksekutif dan Legislatif.
  • Bunga kapas tujuh belas buah melambangkan tanggal 17 , lekukan daun berjumlah delapan melambangkan bulan Agustus, setangkai pada dengan 45 butir padi melambangkan tahun 1945, Keseluruhannya ini melambangkan 17 Agustus 1945 yaitu Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
  • Garis bergelombang berjumlah tiga buah melambangkan ke tiga buah sungai yang mengalir di Kota Binjai.
  • Bunga Kapas dan padi melambangkan keadilan dan Kebenaran serta kesejahteraan rakyat Kota Binjai.
  • Warna dasar abu - abu melambangkan kesuburan dan kelestarian lingkungan.

Penyebab Harga Tanah Melejit Naik Tinggi

JAKARTA, KOMPAS.com - Harga tanah dalam satu dekade terakhir melonjak tak terkendali. Tak hanya di sekitar kawasan Jadebotabek, melainkan juga di daerah. Pertumbuhan harga bisa mencapai ratusan persen hanya dalam setahun. 

Sebut saja harga lahan di daerah Kuala Namu, Deli Serdang, Sumatera Utara yang melonjak hingga 500 persen. Pada 2013, harga di daerah tersebut sebelumnya hanya Rp 1 juta per meter persegi, saat ini berada pada level Rp 5 juta per meter persegi. 

Kemudian harga tanah di Cisauk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jika pada tiga tahun lalu hanya bisa dijual Rp 200.000 per meter persegi, kini saat raksasa properti seperti Sinar Mas Land agresif membangun di kawasan itu, harga lahan melejit menjadi Rp 3 juta per meter persegi.

Di dalam area pengembangan BSD City sendiri milik Sinar Mas Land Group yang mencakup wilayah Cisauk sudah menyentuh level Rp 11 juta hingga Rp 16 juta per meter persegi.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, menyebut ada empat hal utama penyebab melejitnya harga tanah selama satu dekade terakhir. 

"Pertama, penguasaan tanah oleh pemodal (pengembang), investor dan kumpulan pemilik modal. Mereka membeli lahan dalam skala ribuan hektar untuk kemudian diolah dan dijual kembali," ujar Bernardus kepada Kompas.com, Jumat (5/12/2014). 

Dia melanjutkan, faktor kedua adalah tingginya biaya pematangan lahan. Mulai dari registrasi, sertifikasi hingga perizinan pengembangan di atasnya. 

"Ketiga, langkanya akses dan infrastruktur yang berkualitas untuk tanah yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha. Ini menyebabkan biaya perolehan lahan sangat tinggi," tutur Bernardus. 

Keempat, tambah dia, terdapat ketidakaturan dan amburadulnya kondisi administrasi dan manajemen pertanahan (land register danland management). 

"Untuk mengatasi melonjaknya harga lahan gila-gilaan, pemerintah harus secara serius melakukan agenda reformasi pertanahan (land reform), melakukan pendataan dan manajemen tanah menuju rejimstatutory system yang mumpuni," jelas Bernardus.

Reformasi pertanahan juga harus disertai dengan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan sebagai panglima pemanfaatannya. Dengan demikian, redistribusi ruang dan tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara demi pemerataan kemakmuran.

Selain itu, tambah Bernardus, pemerintah harus menargetkan bahwa reformasi pertanahan akan menjamin ketersediaan lahan yang cukup untuk kemandirian ekonomi, ketahanan pangan sekaligus pertahanan dan keamanan negara.

Profil Kabupaten Deli Serdang

Profil

Nama Resmi:Kabupaten Deli Serdang
Ibukota:Lubuk Pakam
Provinsi :Sumatera Utara
Batas Wilayah:
Utara: Kabupaten Langkat dan Selat SumateraSelatan: Kabupaten Karo dan SimalungunBarat: Kabupaten Langkat dan KaroTimur: Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun
Luas Wilayah:2.241,68 Km²
Jumlah Penduduk:
1.773.201 Jiwa

Wilayah Administrasi:
Kecamatan: 22, Kelurahan : 14, Desa : 380

Website::http://www.deliserdangkab.go.id

( Permendagri No.39 Tahun 2015 )

Sejarah

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan ( Kesultanan ) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan.
Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan menjadi Daerah  Otonom sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1984 tentang Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 7 Darurat  Tahun 1965. Hari jadi Kabupaten Deli Serdang ditetapkan tanggal 1 Juli 1946.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23 Desember 1986.
Sesuai dengan dikeluarkan UU Nomor  36 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003, Kabupaten Deli Serdang telah dimekarkan menjadi dua wilayah yakni Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai, secara administratif Pemerintah Kabupaten Deli Serdang kini terdiri atas 22 Kecamatan yang di dalamnya terdapat 14 Kelurahan dan 380 Desa.
Tercatat dalam sejarah Bupati pertama Kabupaten Deli Serdang Moenar S.Hamidjojo, dilanjutkan Sampoerna Kolopaking, setelah itu Wan Oemaroeddin Barus (  1 April 1951-1 April 1958 ) Abdullah Eteng ( 1 April 1958 – 11 Januari 1963 ) Abdul Kadir Kendal Keliat ( 11 Januari 1963 -  11 November 1970 ) H. Baharoeddin Siregar ( 11 Novermber 1970 – 17 April 1978 ) Abdul Muis Lubis ( 17 April 1978 – 3 Maret 1979 ) H. Tenteng Ginting ( 3 Maret 1979 – 3 Maret 1984 ) H. Wasiman ( 3 Maret 1984 – 3 Maret 1989 ) H. Ruslan Mansur ( 3 Maret 1989 – 1994 ) H. Maymaran NS ( 3 Maret 1994 – 3 Maret 1999 ) Drs. H. Abdul Hafid, MBA ( 3 Maret 1999 – 7 April 2004 ),  tahun 2004 ( Periode 2004 – 2009 dan Periode 2009-2014) di jabat oleh Drs. H. Amri Tambunan.
Seiring dengan gerak roda pembangunan yang terus melaju diciptakan motto bagi daerah Deli Serdang yaitu : “ BHINNEKA PERKASA JAYA” yang tercantum di pita lambang Daerah Kabupaten Deli Serdang, dalam pengertian “ Dengan masyarakatnya yang beraneka ragam suku, Agama, ras, dan golongan bersatu dalam ke Bhinnekaan secara kekeluargaan dan gotong royong membangun semangat kebersamaan, menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya sehingga menjadi kekuatan dan keperkasaan untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan, maju, mandiri dan jaya sepanjang masa
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatra Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar NST yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional.

Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST) tidak bersedia.
Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi ata 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya adalah Deli en Serdang. Afdeling ini dipimpin oleh seorang Asisten Residen beribukota di Medan serta terbagi atas 4 (empat) Onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota di Medan, Bovan Deli beribukota di Pancur Batu, Serdang beribukota di Lubuk Pakam, Padang Bedagei beribukota di Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpim oleh seorang Kontelir.
Selanjutnya dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam) Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang Hulu, Serdang Hilir, Bedagei, Padang/Kota Tebing Tinggi pada waktu itu ibukota berkedudukan di Perbaungan.

Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21 Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibukota Medan, meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang dan Bedagei.
Pasa tanggal 14 November 1956, Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956. Untuk merealisasinya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dab Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).
Namun, tahun demi tahun terus berlalu merubah perjalanan sejarah dan setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati penetapan Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang tanggal 1 Juli 1946.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23 Desember 1986. Demikian pula pergantian pimpinan didaerah inipun telah terjadi beberapa kali.
Tercatat dalam sejarah bahwa Bupati Pertama di Kabupaten Deli Serdang secara berkesinambungan telah di pimpin oleh Bupati Kepala Daerah Deli Serdang yang sampai saat ini tercatat tiga belas orang Bupati kepala daerah telah memimpin Kabupaten Deli Serdang yakni :
1. 

Munar S. Hamidjoyo 




2. 

Sampurno Kolopaking 




3. 

Wan Oemaruddin Barus 

(1 Feb 1951 s/d 1 April 1958) 

4. 

Abdullah Eteng 

(1 Apr 1958 s/d 1 Jan 1963) 

5. 

Abdul Kadir Kendal Keliat 

(11 Jan 1963 s/d 11 Nov 1970) 

6. 

H. Baharoeddin Siregar 

(11 Nov 1970 s/d 17 April 1978) 

7. 

Abdul Muis Lubis 

(17 Apr 1978 s/d 3 Mar 1979) 

8. 

H. Tenteng Ginting 

(3 Mar 1979 s/d 3 Mar 1984) 

9. 

H. Wasiman 

(3 Mar 1984 s/d 3 Mar 1989) 

10. 

H. Ruslan Mansyur 

(3 Mar 1989 s/d 3 Mar 1994) 

11. 

H. Maymaran NS 

(3 Mar 1994 s/d 3 Mar 1999) 

12. 

Drs H. Abdul Hafid, MBA  

(3 Mar 1999 s/d 7 April 2004) 

13. 

Drs H. Amri Tambunan 

(7 April 2004 s/d sekarang) 

Perjalanan penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten Deli Serdang, tecatat beberapa Bupati didampingi oleh seorang Wakil Bupati. Pada pertengahan periode kepemimpinan (1997) H.Maymaran. MS, beliau didampingi oleh seorang wakil Bupati Drs.H.Rayo Usman Harahap, sesuai dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor 132.22-141 tanggal 24 Februari 1977. Jabatan Wakil Bupati berlanjut dijabat oleh Drs.H.Rayo Usman Harahap pada periode Drs.H.Abdul Hafid, MBA sampai dengan tahun 2002. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jabatan Wakil Bupati merupakan satu paket dengan Bupati yang dipilih oleh anggota legislatif. Tahun 2003, Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang, terpilih Drs.H.Amri Tambunan yang berdampingan dengan Drs.Yusuf Sembiring, MBA.,MM sebagai Wakil Bupati untuk periode 2004 sampai dengan 2009.
Sama halnya dengan badan eksekutif, maka pada lembaga legislatif, terdapat pula Putra Bangsa yang telah mendapat kesempatan menjadi ketua DPRD TK II Deli Serdang, yakni :
1. 

Bonar Ginting 




2. 

H. Mahmud Hasan 




3. 

T.A. Muhaid Arief 




4. 

Kapten M. Selamat 




5. 

Letkol Gus Masiman, BA  

(1971 s/d 1982) 

6. 

H. Muhammmad Rizan  

(1982 s/d 1987) 

7. 

T. Abunawar Sinar Al-Haj  

(1987 s/d 1992) 

8. 

H. Iping Sapei  

(1992 s/d 1997) 

9. 

Kolonel. Drs. H. Nusrin Siregar 

(1997 s/d 1999) 

10. 

H. Naik Tarigan, BBA  

(1999 s/d 2004) 

11 

H. Wagirin Arman 

(2004 s/d sekarang)

Sedangkan Sekretaris Wilayah Daerah (saat ini berubah nama menjadi Sekretaris Daerah) Kabupaten Deli Serdang juga sudah silih berganti, mulai dari H. Baharoeddin Siregar, Mbra Barus, Mabai Tarigan, H. Abdul Muis, Mohd. Zaini Dahlan SH, Drs. Sonny Sembiring, Zainal Arifin SH, Drs. Aman Ginting, Drs. H. Azis Fachri Harahap, H. Abdul Salam Pane SH, Drs. H. Zainul Aris, Drs. H. Chairullah, S.I.P.MAP, Pelaksana Sekda Ir.H.Marapinta Harahap, MAP,MM, dan saat ini dijabat oleh Ir.Djaili Azwar, M.Si.
Sementara Sekretaris DPRD Kabupaten Deli Serdang juga sudah beberapa kali silih berganti mulai dari Djaman Tarigan SH, Drs. Nur Achmad Siregar, H.M. Rasyid SH, Drs. Achmad Siregar dan saat ini dijabat oleh Drs. Semangat Merdeka Tarigan.

Arti Logo


  1. Bintang bersudut lima melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan berfalsafat Pancasila.
  2. 17 kuntum bunga kapas, 5 (lima) daun sirih, 3 (tiga) buah pinang, empat puluh lima butir padi melambangkan catatan sejarah, tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan RI, dimana rakyat Deli Serdang turut memberi dharma bhaktinya dalam kemerdekaan Republik Indonesia.
  3. Sedangkan padi berbuah 11 (sebelas), seekor ikan melambangkan penduduk Kabupaten Deli Serdang sebagian besar terdiri dari petani dan nelayan.
  4. Gunung dan lima gelombang ombak serta matahari pagi yang sedang naik melambangkan:
    1. Gunung menunjukkan geografi Deli Serdang yang terdiri dari pegunungan, daratan rendah dan pantai
    2. Lima gelombang ombak melambangkan bahwa Deli Serdang di airi oleh sungai besar kecil yang membawa kemakmuran rakyat.
    3. Matahari terbit yang sedang naik melambangkan masa depan yang gemilang cita-cita yang tinggi serta kegairahan bekerja yang penuh semangat dan keyakinan.
  5. Pohon kelapa sawit, karet, tembakau melambangkan daerah Deli Serdang adalah daerah perkebunan yang menghasilkan devisa.
  6. Roda mesin bergigi melambangkan cita-cita modernisasi dari mekanisme kehidupan rakyat serta lambang kerajinan tangan.
  7. Sirih, pinang dan puan melambangkan kebudayaan asli, dimana sirih dan pinang merupakan alat pembuka kata dalam segala upacara serta lambang persaudaraan dan toleransi.
  8. Lima helai daun sirih melambangkan tiga hukum yang dijunjung tinggi, yaitu hukum politik, hukum adat dan hukum negara
Motto daerah adalah “BHINEKA PERKASA JAYA”
Motto daerah di atas adalah sebagai berikut :
  1. BHINEKA : Melukiskan penduduk Deli Serdang yang penduduknya beraneka ragam suku, agama, ras, dan golongan yang bersatu secara kekeluargaan dan gotong royong yang dilandasi oleh jiwa dan semangat falsafah negara Pancasila.
  2. PERKASA : Menggambarkan / mengartikan bahwa Kabupaten Deli Serdang masyarakatnya yang beraneka ragam tapi mempunyai semangat perjuangan dan kesatuan telah menjadi daerah kuat dan kokoh baik dimasa perjuangan kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan.
  3. JAYA : Menggambarkan / mengartikan bahwa daerah Deli Serdang merupakan daerah mempunyai potensi alam yang subur dan makmur yang akan mampu mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan dan kejayaan sepanjang masa.