Jatuhnya Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berpangkal dari kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang menyerahkan urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap menerapkan pajak yang tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati Portugis. Administrasi pemerintahan raja yang lemah menimbulkan perebutan kekuasaan, padahal persenjataan dan taktik perang yang dimiliki juga lemah. Tentara Portugis yang kurang dari dua ribu orang dapat mengalahkan puluhan ribu laskar Melaka dan merampas lebih dari dua ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja Melaka terakhir, Sultan Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru, terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian Utara juga timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.
Sultan Aceh dengan bantuan ahli-ahli militer Turki dan India mulai menyerang benteng Portugis di Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang warga Portugis, Ferdinand Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam Perigrinaao (Cogan, 1892: 28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada bulan November 1539. Menurut Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang dibeli di Panai dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung selama tujuh belas hari, tetapi tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh menyogok dengan uang emas, sehingga pasukan yang bertahan lengah dan benteng dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas, tetapi permaisurinya, Anchesin sempat lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka rombongannya disambut dengan hormat, tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan apa-apa. Permaisuri Haru kemudian berangkat ke Bintan yang merupakan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II. Sultan Alauddin Riayatsyah II merupakan putra dan pengganti Almarhum Sultan Mahmudsyah (Marhum Kampar). Permaisuri Haru kemudian diperistri Sultan Alauddin dengan syarat Haru dikembalikan. Sultan Alauddin kemudian membuat surat kepada Sultan Aceh Al Qahhar yang menuntut agar Haru dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab permaisuri Haru sudah menjadi istrinya.
Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia kemudian mempersiapkan armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang Imperium Melayu Riau-Johor, tetapi penyerangan itu didahului oleh balatentara Riau-Johor yang dipimpin oleh Laksamana dan berhasil merebut Haru pada tahun 1540. Pada tahun 1564, Al Qahhar membalas sakit hatinya dan merebut Johor Lama dalam penyerangan yang tiba-tiba. Al Qahhar juga menghukum mati Sultan Alauddin Riayatsyah II yang kemudian diberi gelar Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak itu Aceh menempatkan putra-putra Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru kemudian disebut Gori atau Guri.
Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi Mukammil) yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri) memberontak kembali. Pemberontakan Haru (Guri) kali ini dipimpin oleh seorang panglima yang diawasi Merah Silu. Dengan mengumpulkan pemimpin rakyat di gunung, mereka bermusyawarah dan berpaling dari Aceh, kemudian merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru (Guri).
Aceh beberapa kali mengirim gajah dan armada untuk menghancurkan pemberontakan itu dan sekaligus menyerang Johor. Meskipun Batusawar dapat dikepung oleh Aceh, tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban. Benteng tidak dapat direbut dan pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga Aceh terpaksa mundur kembali. Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian ini juga disebutkan oleh seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di Aceh (Purchas, I: 123).
Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri) hilang dan timbul nama Deli dengan ibukota Deli Tua. Sementara itu, di Aceh naik seorang raja bernama Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada tahun 1612 dia menaklukkan Deli dengan pasukan seratus ekor gajah perang dan dengan sistem lubang-lubang pertahanan. Dalam Hikayat Aceh disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah Saidi Mukammil yang meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda Syah Alam: “Cucuku inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman mengalahkan Deli dan menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan segala raja-raja Melayu dan mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau tunduk ke Aceh”. Dengan demikian jelas bahwa Deli sama dengan Haru (Guri) yang memberontak Pasai pimpinan Merah Silu. Sultan Iskandar Muda sangat bangga dapat menaklukkan Deli (bekas Haru) yang sulit ditundukkan oleh raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam suratnya kepada King James dari Inggris (Shellebear, 1898: 125–127).
Nama Deli kemungkinan berasal dari bahasa Karo “Deling” yang berarti gunung, karena ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang merupakan batas wilayah Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat Puteri Hijau yang erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke Haru pada tahun 1539.
Hikayat Putri Hijau seperti yang dikisahkan oleh Mendes adalah sebagai berikut. “Di hulu Sungai Petani (di hilir bermuara Sungai Deli) terdapat kampung Siberraya. Di sana lahir Putri Hijau yang cantik bersama saudara kembarnya, seekor naga (ular Simangombus) dan sebuah meriam (Meriam Puntung). Karena rakyat tidak sanggup lagi memenuhi bahan makanan, rakyat di sana lalu pindah ke hilir dan membuat benteng di Deli Tua. Negeri itu menjadi makmur dan berita kemakmurannya tersebar ke Aceh. Sultan Aceh berkeinginan meminang Putri Hijau, tetapi ditolak sehingga terjadi peperangan. Aceh sudah berusaha keras untuk merebut benteng Deli Tua, tetapi belum berhasil. Oleh karena itu Aceh menyebarkan ribuan uang emas sehingga pasukan Deli yang bertahan di benteng lengah.
Kesempatan ini digunakan Aceh untuk menyerbu dan menduduki benteng. Hanya sang Meriam saja yang terus menembak, sehingga sang Meriam menjadi panas dan moncongnya putus, kemudian jatuh di Kampung Sukamalu (sisanya tersimpan di halaman Istana Maimon Medan). Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu sang Naga kemudian menggendong Putri Hijau dan menyelamatkannya melalui sebuah terusan (Jl. Puteri Hijau Medan sekarang) dan memasuki Sungai Deli dan akhirnya sampai di Selat Melaka. Menurut legenda, mereka kini berdiam di bawah laut dekat Pulau Berhala” (Middendorp, BGKW II: 164). Dari uraian ini terlihat bahwa titik hubungan antara putri, meriam, dan muslihat dengan uang emas dan naga sebenarnya adalah perahu yang berkepala naga.
Sultan Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di Semenanjung Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624. Indragiri dan Jambi menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai Gasib (salah satu cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah Tapung sampai Bukit Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga dihancurkan oleh bala tentara Aceh dengan bantuan orang Pandan dengan cara membuat terusan yang sekarang dikenal dengan Sungai Buatan. Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor dengan menempatkan seorang pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh mulai mengendur, sehingga peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka, dan ini terbukti dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.
dari : http://massahar-tiga.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment