Wednesday, March 26, 2008

KOMUNITAS ARAB DI PEKOJAN DAN KRUKUT: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITAS

KOMUNITAS ARAB DI PEKOJAN DAN KRUKUT: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITAS Masjid itu masih tampak kokoh sekalipun usianya telah hampir dua setengah abad. Hanya di bagian atas menaranya yang menjulang tinggi sedikit berlumut dimakan usia. Di bagian dalamnya yang luas dan sejuk di tengah-tengah perkampungan yang gersang dan panas, terhampar permadani warna-warni buatan Persia. Siang itu sekitar 100 orang -- kebanyakan berkopiah putih -- tengah menunaikan salat dzuhur berjamaah dipimpin imam H. Achmad Basarah (81). Imam Basarah adalah keturunan keluarga Arab yang sudah tinggal di daerah itu sejak beberapa generasi lalu. Masjid Annawir yang dapat menampung lebih dari seribu jamaah itu dikenal juga dengan sebutan Masjid Pekojan. Dibangun tahun 1760 Masehi atau 1180 Hijriah. Saat ini Masjid Annawir Pekojan adalah masjid terbesar di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, yang mayoritas penduduknya keturunan Cina. Sekitar empat kilometer sebelah selatan Kelurahan Pekojan, terdapat Kelurahan Krukut, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Di kelurahan sini berdiri pula sebuah masjid yang diberi nama Al-Mubarak. Menurut Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, masjid ini dibangun tahun 1786 M. atau 26 tahun setelah Masjid Pekojan. Persis berseberangan dengan Masjid Al-Mubarak (lebih dikenal dengan sebutan Masjid Krukut), hanya terhalang Sungai Ciliwung, berdiri Masjid Jami Kebon Jeruk, yang didirikan pada 1718. Berlainan dengan Masjid Krukut yang tampak megah dengan sentuhan arsitektur masa kini (setelah dipugar sekitar tiga tahun lalu), kedua masjid lainnya tampak kuno. Keduanya memang dilindungi oleh UU Pemda DKI yang menyatakan kedua bangunan tersebut sebagai bangunan sejarah yang harus dipertahankan keasliannya. Adanya sejumlah masjid jami tua di kawasan yang kini menjadi pusat ekonomi dan bisnis, menurut Pemda DKI dalam buku Kampung tua di Jakarta, adalah bukti bahwa kawasan Pekojan dan Krukut berperan dalam penyebaran agama Islam pada masa lalu. Ini diperkuat dengan sejarah kedua kampung itu yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya kota Jakarta. Persaingan ekonomi Begitu memasuki kawasan Pekojan dan Krukut, hampir bisa dipastikan mata akan melihat banyak wajah-wajah khas Timur Tengah dengan hidung mancung, sorot mata tajam, kumis, dan janggut hitam. Juga sapaan akrab "Assalamualaikum" di antara mereka yang diucapkan sambil mengangkat tangan atau bersalaman ketika bertemu. Tapi kini wajah-wajah Timur Tengah itu seperti tenggelam di tengah hingar-bingar lalu lalang manusia dan kendaraan. Pusat bisnis dan ekonomi itu -- yang terutama ditandai oleh hadirnya sejumlah besar pertokoan -- kini malah lebih dikenal dengan sebutan Pecinan. Sementara masyarakat Arab yang telah turun-temurun "menguasai" wilayah tersebut kini memilih hijrah ke tempat lain. Mereka meninggalkan tempat nenek moyang mereka menetap pertama kali setelah hijrah dari Hadramaut (kini Yaman Selatan). Sebagaimana dikemukakan Abud Alkatiri, salah seorang guru dari Lembaga Pusat Pendidikan Islam "Fatahillah" Krukut yang dibangun oleh Jumhuriyah Islamiyah Al-Kathiriyah, rasa persaudaraan di antara "jamaah" (sebutan untuk keturunan Arab) masih cukup kental. "Kalau mau melihat jamaah berkumpul datanglah pada upacara pernikahan, atau bila ada yang meninggal dunia," katanya. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan. Meski mereka tinggal terpencar di kawasan yang cukup luas itu, "Mereka tetap berkumpul pada acara pesta perkawinan, pada saat ada kematian, tahlilan, atau maulid Nabi" kata Habib Abdurahman Aljufri, ketua Masjid Pekojan, yang juga tokoh masyarakat setempat. Pada pesta-pesta perkawinan masyarakat biasanya diadakan samar, yaitu lagu-lagu irama Padang Pasir yang dibawakan oleh kelompok orkes gambus dengan pemain-pemain kebanyakan keturunan Arab. Mereka bernyanyi dan memainkan alat musik sambil duduk di lantai dan beralas permadani. Tarian zafin khas Timur Tengah juga menjadi kesukaan para pemuda di kedua kawasan itu. Hampir sama populer dengan joget dangdut sekarang ini. Tampaknya, semakin berkurangnya komunitas Arab di kedua kawasan tersebut diakibatkan oleh persaingan ketat dalam bisnis perdagangan. Pesaing utamanya adalah orang-orang Cina. Dedy Suwardi, sekretaris Kelurahan Pekojan, mengungkapkan bahwa dari data monografi kelurahan yang ada jelas jumlah keturunan Arab di kelurahan tersebut mengalami penurunan berarti. "Padahal yang saya tahu dulunya masyarakat Arab merupakan mayoritas di daerah ini," katanya. Tapi ketika ditanya Dedy juga mengaku tahu secara pasti berapa jumlah masyarakat keturunan Arab sekarang ini. Alasannya adalah karena sebagian besar dari mereka sudah membaur dengan warga pribumi. Yang ada hanya data pemeluk agama. Dari jumlah 30.794 jiwa, yang beragama Islam 13.680 jiwa atau sekitar 45%. Sementara sisanya adalah keturunan Cina dan kebanyakan non-Muslim. Meski minoritas bukan berarti kegiatan keislaman di wilayah tersebut menjadi sepi. Dedy misalnya, tak menutupi rasa bangganya karena di kelurahannya terdapat 29 majelis taklim, 4 masjid, 26 musholla, dan madrasah dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Aliyah. Dahulu di kampung ini banyak terdapat rumah-rumah dengan arsitektur Mor, di samping beberapa bangunan tua berarsitektur Cina. Tapi dewasa ini kedua jenis bangunan tersebut, yang corak arsitekturnya kemudian diserap dan disebut sebagai khas Betawi, telah tergusur. Hanya beberapa di antaranya yang masih bertahan. Salah satunya, yang juga sudah berusia ratusan tahun, ditempati oleh Ibu Nining Alatas, yang menurut penduduk setempat masih ada hubungan keluarga dengan Menlu Ali Alatas. Saat ini "bau Arab" hanya "tercium" dari beberapa nama jalan atau gang di Krukut maupun Pekojan. Seperti Jalan Abdullah, Gang Thalib, dan sebagainya. Organisasi sosial Di Pekojan inilah organisasi sosial dan pendidikan Jamiat Khair pertama kali didirikan tahun awal abad ke-20. Baru belakangan pusat organisasi tersebut dipindahkan ke Jalan K.H. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dalam sebuah wawancara dengan Robert van Niel -- penulis buku The Emergence of the Modern Indonesia Elit -- H. Agus Salim menjelaskan tentang makna kehadiran organisasi sosial semacam Jamiat Khair. "Pada tahun 1904 atau 1905, khusus untuk mengatasi ekonomi lemah Indonesia, beberapa orang keturunan Arab dan beberapa orang Sumatera membentuk suatu organisasi gotong royong yang dinamakan Jamiat Khair ... Banyak anggota Boedi Oetomo dan Sarekat Islam adalah bekas anggota Jamiat Khair." Berkurangnya keturunan Arab di Pekojan menjadi keprihatinan bagi pemuka masyarakat seperti Habib Aljufri. Dia menunjuk sejumlah gedung, rumah dan jalan-jalan yang dahulu dihuni masyarakat keturunan Arab tapi kini beralih menjadi milik keturunan Cina. Padahal di antara gedung-gedung tersebut terdapat pula peninggalan bersejarah bekas milik kalangan Arab yang pertama datang ke Indonesia, seperti masjid, surau, tempat pertemuan dan madrasah. Tanah di daerah itu pun kini berkisar antara satu hingga dua juta rupiah per m2. Dan ini makin memperbesar kecemasan akan makin menipisnya jumlah komunitas Arab di wilayah tersebut. Saat ini yang warga keturunan Arab yang masih bertahan tinggal di situ hanya tinggal kira-kira 200 orang, atau sekitar 70 KK. Kecemasan serupa juga dikemukakan oleh Abud Alkatiri. Sambil menunjuk Jalan Kejayaan dan Keutamaan yang cukup panjang itu, ia mengatakan bahwa dahulu gedung-gedung di sini hampir seluruhnya dihuni oleh "jamaah," tapi sekarang kebanyakan oleh baodeh (sebutan untuk keturunan Cina). "Ekstrimnya," kata Abdurahman Aljufri, "dahulu tukang bakmi tidak berani lewat Pekojan, karena takut ditimpuki anak-anak." Tapi kini yang terjadi sebaliknya: para pedagang itu bebas keluar masuk "kampung Arab" Pekojan tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Krukut. Tapi menghilangnya sebagian besar masyarakat Arab dari Krukut maupun Pekojan, bukanlah semata-mata karena soal ekonomi atau kekalahan mereka dalam bersaing dengan Cina. Bahkan mereka yang pindah itu kebanyakan keadaan ekonominya cukup baik. Mereka pindah justru untuk mengembangkan usaha ke wilayah Tanah Abang, Jatinegara, Kwitang, Condet, bahkan Bogor. Kaum Ulaiti dan penyebaran Islam Pada zaman Belanda, ketika Batavia dikuasai oleh Jan Pieterzoon Coen pada sekitar 1620-an, Kampung Krukut dibagi ke dalam tiga wilayah administratif yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kapiten. Setiap Kapiten memimpin golongannya, yaitu Arab, Cina dan Betawi. Tugasnya kira-kira sepadan dengan lurah sekarang. Demikian pula di Kampung Pekojan, yang pada masa itu merupakan kawasan pesisir Batavia. Menurut Habib Abdurahman pada masa itu terdapat seorang Kapiten Arab yang terkenal, Abdul Azis. Menurut Habib Abdurahman, pimpinan Masjid Annawir, ayahnya datang dari Hadramaut pada tahun 1901. "Ketika itu tiap keturunan Arab yang datang ke Hadramaut langsung dibawa ke Pekojan oleh Belanda. Setelah beberapa lama tinggal di sini baru mereka terpencar baik di Jakarta maupun tempat-tempat lainnya". Dalam buku "Kampung Tua di Jakarta" yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI disebutkan bahwa kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut ke Krukut dan Pekojan diterima dengan baik oleh penduduk asli karena terdapat persamaan agama. Mereka yang disebut "ulaiti" datang ke Jakarta dan daerah Indonesia lainnya, tanpa membawa isteri. Karena itu kemudian mereka menikahi wanita-wanita pribumi. Motivasi mereka datang ke Jakarta, di samping terdorong oleh keinginan mencari kehidupan material yang lebih baik, juga untuk menyebarkan ajaran Islam. Habib Abdurahman sendiri mengatakan bahwa sampai saat ini ia telah meng-Islam-kan sedikitnya 200 orang keturunan Cina. "Di antara mereka banyak yang kaya raya," ujarnya. Mungkin inilah yang menyebabkan persaudaraan di kedua kampung tersebut tidak hanya erat terjalin di antara keluarga masyarakat Arab, tapi juga antara masyarakat Arab dengan penduduk setempat. Apalagi banyak di antara mereka yang berjalin saudara dari garis ibu. Di Pekojan, menurut Abdul Rachim, warga asli yang sehari-hari bertugas di Dinas Museum dan Sejarah DKI, terdapat sebuah paguyuban, yaitu Guyuban Kematian Persaudaraan Islam Pekojan (GKPIP). Diketuai oleh Habib Aljufri, GKPIP beranggotakan seluruh masyarakat yang beragama Islam, tidak terbatas hanya pada satu keturunan saja. Apabila ada anggota yang meninggal dunia, mulai dari surat dokter, memandikan jenazah, kain kafan, sampai pemakaman diurus dan ditanggung oleh paguyuban. Di samping itu, keluarga yang ditinggalkan mendapat uang shalawat yang dikumpulkan oleh paguyuban. "Tidak pernah ada masyarakat di sini yang jenazahnya tidak terurus," kata Habib Abdurrahman. Perkumpulan yang sama juga terdapat di Krukut. Mengenai pembauran antara masyarakat Arab dengan penduduk setempat, Abud Alkatiri menunjuk pada madrasah, TK, SMP dan SMEA milik Yayasan Al-Kathiriyah yang sebagian besar dari sekitar 600 siswa-siswinya justru bukan dari kalangan jamaah. Demikian pula dengan guru-guru di yayasan yang menempati gedung berlantai empat itu. Di Pekojan, Habib Abdurahman juga memimpin majelis taklim yang anggotanya berdatangan bukan hanya dari Pekojan, tapi juga dari Tangerang, Tanjung Priok dan Bogor. Saat ini juga semakin banyak masyarakat Arab yang menikahi wanita ataupun pemuda bukan masyarakat Arab. Kedekatan masyarakat Arab dengan penduduk setempat juga diakui oleh Abdul Rachim. "Saya memimpin Members of Yassin yang anggotanya berjumlah 100 orang, baik dari kelompok masyarakat Arab maupun bukan." Tiap malam Jumat kelompok ini membaca surat yasin, ratiban dan tahlil dari rumah ke rumah. Di Krukut, tiap tanggal 15 ibu-ibu mengadakan pengajian yang terbuka bagi siapa saja yang beragama Islam. Baik di Pekojan maupun Krukut, yang penduduknya kebanyakan pedagang, nasi kebuli adalah makanan khas yang digemari. Nasi yang dicampuri minyak samin dan daging kambing ini sampai sekarang ini masih dihidangkan dalam acara-acara pernikahan maupun keagamaan. "Dan yang paling terkenal di seluruh Jakarta adalah nasi kebuli dari Pekojan," kata Abdullah Zaidan, 65, yang sudah turun-temurun tinggal di Pekojan. Kegemaran terhadap nasi kebuli dengan daging kambingnya diabadikan menjadi nama jalan di salah satu RW di Pekojan, yakni Jalan Pejagalan dan Jembatan Kambing. Menurut Dinas Museum dan Sejarah DKI nama Pejagalan -- yang berasal dari kata jagal -- bermula dari penampungan daging kambing yang didatangkan dari luar daerah di suatu kampung yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kampung Pejagalan. Sedangkan nama Jembatan Kambing diambil karena sebelum kambing-kambing untuk konsumsi masyarakat Pekojan dipotong di tempat pejagalan hewan terlebih dahulu dikumpulkan di tempat yang kemudian kondang dengan nama Jembatan Kambing. alwi shahab BAODEH-PUN BERBAHASA ARAB PROKEM "Ente cari rumah si Ali? Itu dia, shebe (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed (rumah)", kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika yang bertanya kepadanya. Baodeh (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah, memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane (saya), ente (kamu), fulus (uang), tafran (miskin), zein (bagus), sawak (benar), dan ratusan kata Arab "prokem" lainnya sudah akrab di telinga ketiga etnis penduduk. Sama akrabnya dengan kata-kata yang berasal dari khasanah bahasa Cina seperti : cepek (seratus rupiah), seceng (seribu rupiah), kamsia (terima kasih), enci, engko, dan sebagainya. Dibanding keturunan Cina, masyarakat Betawi lebih akrab dengan bahasa Arab prokem. Alasannya "Enak didengar dan gampang diucapkan". Di Ibukota, bukan hanya di Krukut dan Pekojan, bahasa Arab prokem akrab dengan masyarakat yang penduduknya banyak keturunan Arab. Seperti di Tanah Abang, Sawah Besar dan Jatinegara khususnya di kawasan yang banyak dihuni keturunan Arab. Sebagai misal, ungkapan "Ane mafi fulus" (Saya tidak punya uang) adalah ungkapan sehari-hari dalam percakapan di Krukut dan Pekojan. Tidak hanya di kalangan masyarakat Arab, tapi juga etnis lainnya. Ungkapan berbau Arab lain yang juga sering terdengar adalah "Harim ente khali" (pacar kamu cantik), "Tu rizal magrum" (laki-laki itu gila), "Ane lagi marid" (saya lagi sakit), "Ane dzu nih" (saya lapar nih), atau "Orang itu tadzir (kaya)." Tapi bukan bahasa saja yang mewarnai pembauran di perkampungan Arab. Beberapa bentuk kesenian dan budaya Betawi tradisional juga sedikit banyak terpengaruh kesenian Arab. Misalnya, sambra, rebana, gambus, kasidah, dan masih banyak lagi. Dalam acara samar yang diiringi orkes gambus dengan lagu Irama Padang Pasir yang dipentaskan pada acara-acara perkawinan, yang terjun untuk ber zapin bukan hanya terbatas pada keturunan Arab, tapi juga etnis lainnya. Tampaknya budayawan Umar Kayam benar ketika ia mengatakan bahwa sebelum Banten muncul sebagai imperium yang jaya, Sunda Kelapa dan Jayakarta sudah lebih dulu merupakan permukiman besar yang dihuni berbagai etnik dan ras, termasuk Arab. Mereka berbaur, bergesekan, berdialog dan suatu proses pembangunan sosok budaya yang kemudian disebut Budaya Betawi.

(Alwi Shahab)

No comments: