Wednesday, February 3, 2010
Live dari Pangkalan Susu, IMSS Tampil di Indodefence 2008
Display Sytem yang merupakan subsistem dari Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) TNI AL menjadi bagian materi pameran Indodefence 2008 di stand Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut. Indodefence 2008 digelar mulai tanggal 19 hingga 22 Nopember 2008, bertempat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
IMSS TNI AL merupakan sistem pemantauan wilayah maritim nasional melalui pendirian beberapa stasiun radar pantai di sepanjang wilayah perairan tertentu. Setiap stasiun radar pantai dilengkapi dengan sarana surveillance berupa Radar, AIS (Automatic Identification System) receiver, dan Camera. Disamping itu, untuk mengolah dan menampilkan data-data kapal yang tertangkap peralatan surveillance, stasiun radar pantai dilengkapi pula dengan sejumlah aplikasi, mulai dari pemroses data, sistem display, pengirim pesan, dan pengirim data ke markas besar.
Data tersebut secara real time dikirimkan ke markas besar dan pusat komando di atasnya sebagai bahan monitoring situasi laut. Data dari sejumlah titik diintegrasikan menjadi satu tampilan, sehingga bisa terbentuk sistem pemantauan wilayah perairan nasional yang terintegrasi.
IMSS TNI AL dibangun oleh Infoglobal bekerjasama dengan perusahaan Singapura, Ogusi Pte Ltd, untuk ditempatkan di TNI AL. Pembangunan sistem ini merupakan bagian dari komitmen Infoglobal membantu memberikan dan mengembangkan solusi sistem terbaik, khususnya alutsista untuk pertahanan dan keamanan negara melalui TNI AL. Sistem ini terintegrasi dengan informasi selain surveillance, diantaranya dengan data hasil laporan unsur di lini depan operasi yang dikirimkan melalui telegram, data situasi atau kejadian penting di laut, dan data dislokasi pasukan yang sedang ditugaskan.
Pada saat pameran Indodefence 2008 tersebut, IMSS TNI AL menampilkan data-data tangkapan stasiun radar pantai yang ditempatkan di Pangkalan Susu secara real time dan langsung (live). Data tersebut ditampilkan ke Display System yang dipasang selama pameran berlangsung dan dioperasikan oleh salah seorang perwira TNI AL. “Ini merupakan salah satu bentuk sumbangsih TNI AL dalam pengamanan Selat Malaka,” jelas Laksma Iwan Kustiyawan, Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data TNI AL yang langsung memimpin tim selama pameran berlangsung.
IMSS TNI AL menghubungkan stasiun radar pantai di beberapa titik, Guskamlabar di Batam, Mako Armada Barat di Jakarta, Mako Kormar di Jakarta, dan Markas Besar TNI AL Cilangkap Jakarta melalui jaringan VPN/VSAT IP berkecepatan tinggi. (beh)
Integrated Maritime Surveillance System
Integrated Maritime Surveillance System
Trident’s Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) is designed for governments and other appropriate authorities challenged with demanding Maritime Domain Awareness (MDA) and Common Operating Picture (COP) requirements.
The IMSS is a tightly integrated network of ship and shore based sensors, communications devices and computing resources that collect, transmit, analyze and display a broad array of disparate data including automatic information system (AIS), radar, surveillance cameras, global positioning system (GPS), equipment health monitors and radio transmissions of maritime traffic in a wide operating area. Redundant sensors and multiple communications paths make the system robust and still functional even in the case of a major component failure.
The clever open architecture and purposeful use commercial off-the-shelf components provides the customer tremendous flexibility in making performance-cost trade offs today and in making capability upgrades and additions tomorrow.
from : http://www.technosci.com/trident/imss.php
Radar Intai Maritim Dari AS Beroperasi di Sumatera Akhir 2008
Jakarta, PAB-Online
Delapan radar intai maritim hibah dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dibangun di sepanjang pesisir barat Sumatra ditargetkan beroperasi akhir 2008.
"Dari delapan unit radar itu, baru di Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam) Batam yang telah selesai dan mulai operasional, seperti dikutif waspada sebelumya, sedangkan sisanya masih dalam tahap penyelesaian," kata Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Iskandar Sitompul di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, pemasangan delapan radar intai maritim dari AS yang diberi nama "Proyek 1206" itu akan diletakkan di Sabang, Kreung Geukeuh, Ibe Rayeuk, Bandar Khalifa, Sigli, Belawan, Batam dan Tanjung Balai Karimun.
Seluruh radar tersebut masing-masing akan dioperasionalkan oleh 13 personel prajurit TNI AL yang telah mendapat pelatihan dan alih teknologi dari para teknisi Techno-Science AS. "Untuk Batam dan Sabang, pelatihan terhadap 13 prajurit TNI Al telah berlangsung pada pertengahan Juli 2008," ungkap Iskandar.
Sedangkan, untuk personel TNI AL yang akan mengawaki radar di Kreung Geukeuh, Ibe Rayeuk, Bandar Khalifa, Sigli, Belawan, dan Tanjung Balai Karimun, ada mendapat pelatihan pada pertengahan Agustus 2008. "Dengan begitu, maka delapan radar AS radar dan empat radar RI akan terintegrasi dalam satu sistem pengintaian maritim dan dapat beroperasi pada akhir 2008," ujar Iskandar.
Untuk pengamanan wilayah barat Sumatra yang berbatasan dengan Selat Malaka, pemerintah Indonesia membangun empat radar di Bengkalis, Sinaboi, Tanjang Balai Asahan dan Pangkalan Susu yang kini sudah beroperasi.
Empat radar itu akan diintegrasikan dengan delapan radar intai maritim hibah dari AS dalam satu sistem yakni "Integrated Maritime Surveillance System" (IMSS), hingga seluruh wilayah RI di Selat Malaka dan keamanan selat terpadat di dunia itu dapat benar-benar terpantau.
"Rencananya integrasi akan dipusatkan di Batam dan Belawan," kata Iskandar menambahkan.
Kedua belas radar intai maritim itu memiliki jangkauan 25 hingga 30 mil laut.
(IP/An/PAB)
Delapan radar intai maritim hibah dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dibangun di sepanjang pesisir barat Sumatra ditargetkan beroperasi akhir 2008.
"Dari delapan unit radar itu, baru di Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam) Batam yang telah selesai dan mulai operasional, seperti dikutif waspada sebelumya, sedangkan sisanya masih dalam tahap penyelesaian," kata Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Iskandar Sitompul di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, pemasangan delapan radar intai maritim dari AS yang diberi nama "Proyek 1206" itu akan diletakkan di Sabang, Kreung Geukeuh, Ibe Rayeuk, Bandar Khalifa, Sigli, Belawan, Batam dan Tanjung Balai Karimun.
Seluruh radar tersebut masing-masing akan dioperasionalkan oleh 13 personel prajurit TNI AL yang telah mendapat pelatihan dan alih teknologi dari para teknisi Techno-Science AS. "Untuk Batam dan Sabang, pelatihan terhadap 13 prajurit TNI Al telah berlangsung pada pertengahan Juli 2008," ungkap Iskandar.
Sedangkan, untuk personel TNI AL yang akan mengawaki radar di Kreung Geukeuh, Ibe Rayeuk, Bandar Khalifa, Sigli, Belawan, dan Tanjung Balai Karimun, ada mendapat pelatihan pada pertengahan Agustus 2008. "Dengan begitu, maka delapan radar AS radar dan empat radar RI akan terintegrasi dalam satu sistem pengintaian maritim dan dapat beroperasi pada akhir 2008," ujar Iskandar.
Untuk pengamanan wilayah barat Sumatra yang berbatasan dengan Selat Malaka, pemerintah Indonesia membangun empat radar di Bengkalis, Sinaboi, Tanjang Balai Asahan dan Pangkalan Susu yang kini sudah beroperasi.
Empat radar itu akan diintegrasikan dengan delapan radar intai maritim hibah dari AS dalam satu sistem yakni "Integrated Maritime Surveillance System" (IMSS), hingga seluruh wilayah RI di Selat Malaka dan keamanan selat terpadat di dunia itu dapat benar-benar terpantau.
"Rencananya integrasi akan dipusatkan di Batam dan Belawan," kata Iskandar menambahkan.
Kedua belas radar intai maritim itu memiliki jangkauan 25 hingga 30 mil laut.
(IP/An/PAB)
Selamatkan Mangrove Langkat!
Bambang Hendra Sutoyo//batara/
sumut pos
LANGKAT-Hutan Langkat Timur Laut terus menyusut, bahkan terancam punah. Hamparan hutan bakau (mangrove) di pesisir Langkat meliputi Kecamatan Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Berandan Barat hingga Pangkalan Susu yang luasnya mencapai ribuan hektar, kini bakal tinggal cerita, jika tidak segera diselamatkan.
Wartawan koran ini yang kemarin, Minggu (15/11), ke lokasi okupasi hutan lindung itu menyaksikan ganasnya alat-alat berat itu membabat hutan bakau.
Kondisi yang paling parah terdapat di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Pangkalan Susu. Ribuan hektar hutan bakau habis hingga ke pinggir pantai.
Aparat Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), beberapa waktu lalu, pernah melakukan razia ke lokasi tersebut. Aparat penegak hukum tersebut berhasil menyita delapan unit ekskavator milik pengusaha perambah hutan lindung itu. Namun, beberapa hari pasca-razia itu, okupasi lahan oleh sejumlah pengusaha itu berlangsung kembali. Sayangnya, pasca-razia yang dilakukan pihak Kejatisu, hingga kemarin tak ada lagi tindakan tegas terhadap para perambah tersebut.
Meski banyak pihak telah merusak hutan bakau, namun tak sedikit pula warga yang memberikan perhatian serius. Di antaranya, Abdul Jalil (60), Warga Dusun I Janggus, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Berandan Barat.
Pria yang menghabiskan waktunya sebagai penanam bibit bakau ini menyayangkan lemahnya pengamanan di kawasan hijau oleh aparatur pemerintah hingga mengakibatkan hancurnya hutan bakau di pesisir Langkat.
“Dalam hal ini yang pertama saya kritik adalah pemerintah, karena lemahnya pengamanan terhadap kawasan hutan bakau Langkat, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan yang begitu parah hingga nyaris punah,” kritik Jalil yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan atas dedikasinya terhadap rehabilitasi hutan bakau di Langkat.
Dia juga sangat menyayangkan pihak-pihak yang merusak hutan bakau demi kepentingan pribadi atau kelompok. “Kalau begini terus, bisa-bisa kawasan pesisir Langkat tenggelam,” rekanya.
Selain berpengaruh dengan kondisi daerah, hilangnya hutan bakau ini juga sangat berpengaruh dengan kehidupan nelayan di pesisir, karena bagaimanapun, lahan mencari nafkah nelayan berada di rimbunnya hutan bakau. “Kalau dulu, nelayan hanya mencari ikan dan udang di akar-akar bakau saja, tapi sekarang coba lihat, sampai tengah laut lepas sana pun, belum tentu mereka dapat,” katanya prihatin.
Untuk itu, bilangnya, perlu perhatian khusus terutama ketegasan pemerintah untuk mengawasi dan menindak tegas perambah hutan bakau yang dan tidak seenaknya memberikan izin atau kesempatan kepada pengusaha untuk merusak, bahkan melenyapkan hutan bakau yang menjadi pelindung dan penyokong hidup nelayan tradisional.
Selain itu, warga juga harus proaktif untuk menghijaukan kembali hutan bakau yang ada di daerah mereka masing-masing, sehingga sedikit demi sedikit, hutan bakau Langkat dapat tumbuh kembali seperti semula, meski akan memakan waktu yang relative lama. “Dalam hal ini, masyarakat juga harus turut serta untuk menyelamatkan hutan bakau secara bersama-sama,” harapnya.
Terpisah, Adi (58), warga Kelurahan Alur Dua Baru, Kecamatan Seilepan, Langkat, yang sehari-hari mengantungkan nasibnya sebagi nelayan tradisonal mengatakan, sejak dirinya melaut tahun 1972 silam, kondisi hutan bakau jauh berubah, malah saat ini kondisinya sudah mulai punah. “Jauh kali bedanya dulu dengan sekarang, kalau dulu, kiri kanan palu saja dipenuhi bakau, tapi sekarang, mau lihat rindangnya bakau saja sudah sulit,” ketus ayah anak tiga ini. (ndi)
Mengedukasi Masyarakat Pesisir
Upaya mengembalikan hutan bakau di pesisir pantai timur terus dilakukan, meski sebagian pihak terus melakukan pembabatan. Adalah Bambang Hendra Sutoyo, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) yang terus berjuang merehabilitasi hutan bakau tersebut.
Bersama sejumlah LSM, dia tak lelah mengedukasi dan membina masyarakat untuk menghijaukan kembali hutan bakau. Sejak lima tahun lalu, dia dan rekan-rekannya berjuang agar hutan bakau mulai pesisir Banda Aceh hingga Pantai Labu bisa dikembalikan seperti semula.”Menanam itu, mudah yang sulit bagi kita adalah bagaimana memelihara serta merawat tanaman yang baru ditanam,” bilangnya.
Dengan aksi tersebut, dia berharap pada 2020 Indonesia bisa mendapatkan devisa dari pajak karbon. Menurutnya, sesuai Protokol Kyoto tentang perubahan iklim, setiap negara yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melakukan konservasi hutannya, akan mendapat pajak karbon dari negara-negara penghasil gas karbon.
“Oleh karenanya, sejak sekarang kita membina masyarakat sekitar kita untuk menanam pohon dan menghijaukan hutan bakau, sehingga negara ke depan bisa meraih devisa dari pajak karbon,” bilangnya. Bambang berharap, pemerintah telah memikirkan pendapatan dari hal ini, bukan hanya memikirkan bagaimana caranya menghasilkan devisa dengan mengeksplotasi alam tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan yang ditimbulkanya. “Devisa bukan hanya dari perut bumi,” sebutnya. (btr)
sumut pos
LANGKAT-Hutan Langkat Timur Laut terus menyusut, bahkan terancam punah. Hamparan hutan bakau (mangrove) di pesisir Langkat meliputi Kecamatan Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Berandan Barat hingga Pangkalan Susu yang luasnya mencapai ribuan hektar, kini bakal tinggal cerita, jika tidak segera diselamatkan.
Wartawan koran ini yang kemarin, Minggu (15/11), ke lokasi okupasi hutan lindung itu menyaksikan ganasnya alat-alat berat itu membabat hutan bakau.
Kondisi yang paling parah terdapat di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Pangkalan Susu. Ribuan hektar hutan bakau habis hingga ke pinggir pantai.
Aparat Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), beberapa waktu lalu, pernah melakukan razia ke lokasi tersebut. Aparat penegak hukum tersebut berhasil menyita delapan unit ekskavator milik pengusaha perambah hutan lindung itu. Namun, beberapa hari pasca-razia itu, okupasi lahan oleh sejumlah pengusaha itu berlangsung kembali. Sayangnya, pasca-razia yang dilakukan pihak Kejatisu, hingga kemarin tak ada lagi tindakan tegas terhadap para perambah tersebut.
Meski banyak pihak telah merusak hutan bakau, namun tak sedikit pula warga yang memberikan perhatian serius. Di antaranya, Abdul Jalil (60), Warga Dusun I Janggus, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Berandan Barat.
Pria yang menghabiskan waktunya sebagai penanam bibit bakau ini menyayangkan lemahnya pengamanan di kawasan hijau oleh aparatur pemerintah hingga mengakibatkan hancurnya hutan bakau di pesisir Langkat.
“Dalam hal ini yang pertama saya kritik adalah pemerintah, karena lemahnya pengamanan terhadap kawasan hutan bakau Langkat, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan yang begitu parah hingga nyaris punah,” kritik Jalil yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan atas dedikasinya terhadap rehabilitasi hutan bakau di Langkat.
Dia juga sangat menyayangkan pihak-pihak yang merusak hutan bakau demi kepentingan pribadi atau kelompok. “Kalau begini terus, bisa-bisa kawasan pesisir Langkat tenggelam,” rekanya.
Selain berpengaruh dengan kondisi daerah, hilangnya hutan bakau ini juga sangat berpengaruh dengan kehidupan nelayan di pesisir, karena bagaimanapun, lahan mencari nafkah nelayan berada di rimbunnya hutan bakau. “Kalau dulu, nelayan hanya mencari ikan dan udang di akar-akar bakau saja, tapi sekarang coba lihat, sampai tengah laut lepas sana pun, belum tentu mereka dapat,” katanya prihatin.
Untuk itu, bilangnya, perlu perhatian khusus terutama ketegasan pemerintah untuk mengawasi dan menindak tegas perambah hutan bakau yang dan tidak seenaknya memberikan izin atau kesempatan kepada pengusaha untuk merusak, bahkan melenyapkan hutan bakau yang menjadi pelindung dan penyokong hidup nelayan tradisional.
Selain itu, warga juga harus proaktif untuk menghijaukan kembali hutan bakau yang ada di daerah mereka masing-masing, sehingga sedikit demi sedikit, hutan bakau Langkat dapat tumbuh kembali seperti semula, meski akan memakan waktu yang relative lama. “Dalam hal ini, masyarakat juga harus turut serta untuk menyelamatkan hutan bakau secara bersama-sama,” harapnya.
Terpisah, Adi (58), warga Kelurahan Alur Dua Baru, Kecamatan Seilepan, Langkat, yang sehari-hari mengantungkan nasibnya sebagi nelayan tradisonal mengatakan, sejak dirinya melaut tahun 1972 silam, kondisi hutan bakau jauh berubah, malah saat ini kondisinya sudah mulai punah. “Jauh kali bedanya dulu dengan sekarang, kalau dulu, kiri kanan palu saja dipenuhi bakau, tapi sekarang, mau lihat rindangnya bakau saja sudah sulit,” ketus ayah anak tiga ini. (ndi)
Mengedukasi Masyarakat Pesisir
Upaya mengembalikan hutan bakau di pesisir pantai timur terus dilakukan, meski sebagian pihak terus melakukan pembabatan. Adalah Bambang Hendra Sutoyo, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) yang terus berjuang merehabilitasi hutan bakau tersebut.
Bersama sejumlah LSM, dia tak lelah mengedukasi dan membina masyarakat untuk menghijaukan kembali hutan bakau. Sejak lima tahun lalu, dia dan rekan-rekannya berjuang agar hutan bakau mulai pesisir Banda Aceh hingga Pantai Labu bisa dikembalikan seperti semula.”Menanam itu, mudah yang sulit bagi kita adalah bagaimana memelihara serta merawat tanaman yang baru ditanam,” bilangnya.
Dengan aksi tersebut, dia berharap pada 2020 Indonesia bisa mendapatkan devisa dari pajak karbon. Menurutnya, sesuai Protokol Kyoto tentang perubahan iklim, setiap negara yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melakukan konservasi hutannya, akan mendapat pajak karbon dari negara-negara penghasil gas karbon.
“Oleh karenanya, sejak sekarang kita membina masyarakat sekitar kita untuk menanam pohon dan menghijaukan hutan bakau, sehingga negara ke depan bisa meraih devisa dari pajak karbon,” bilangnya. Bambang berharap, pemerintah telah memikirkan pendapatan dari hal ini, bukan hanya memikirkan bagaimana caranya menghasilkan devisa dengan mengeksplotasi alam tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan yang ditimbulkanya. “Devisa bukan hanya dari perut bumi,” sebutnya. (btr)
Subscribe to:
Posts (Atom)