Wednesday, February 3, 2010

Selamatkan Mangrove Langkat!

Bambang Hendra Sutoyo//batara/
sumut pos

LANGKAT-Hutan Langkat Timur Laut terus menyusut, bahkan terancam punah. Hamparan hutan bakau (mangrove) di pesisir Langkat meliputi Kecamatan Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Berandan Barat hingga Pangkalan Susu yang luasnya mencapai ribuan hektar, kini bakal tinggal cerita, jika tidak segera diselamatkan.

Wartawan koran ini yang kemarin, Minggu (15/11), ke lokasi okupasi hutan lindung itu menyaksikan ganasnya alat-alat berat itu membabat hutan bakau.

Kondisi yang paling parah terdapat di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Pangkalan Susu. Ribuan hektar hutan bakau habis hingga ke pinggir pantai.
Aparat Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), beberapa waktu lalu, pernah melakukan razia ke lokasi tersebut. Aparat penegak hukum tersebut berhasil menyita delapan unit ekskavator milik pengusaha perambah hutan lindung itu. Namun, beberapa hari pasca-razia itu, okupasi lahan oleh sejumlah pengusaha itu berlangsung kembali. Sayangnya, pasca-razia yang dilakukan pihak Kejatisu, hingga kemarin tak ada lagi tindakan tegas terhadap para perambah tersebut.

Meski banyak pihak telah merusak hutan bakau, namun tak sedikit pula warga yang memberikan perhatian serius. Di antaranya, Abdul Jalil (60), Warga Dusun I Janggus, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Berandan Barat.

Pria yang menghabiskan waktunya sebagai penanam bibit bakau ini menyayangkan lemahnya pengamanan di kawasan hijau oleh aparatur pemerintah hingga mengakibatkan hancurnya hutan bakau di pesisir Langkat.

“Dalam hal ini yang pertama saya kritik adalah pemerintah, karena lemahnya pengamanan terhadap kawasan hutan bakau Langkat, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan yang begitu parah hingga nyaris punah,” kritik Jalil yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan atas dedikasinya terhadap rehabilitasi hutan bakau di Langkat.

Dia juga sangat menyayangkan pihak-pihak yang merusak hutan bakau demi kepentingan pribadi atau kelompok. “Kalau begini terus, bisa-bisa kawasan pesisir Langkat tenggelam,” rekanya.

Selain berpengaruh dengan kondisi daerah, hilangnya hutan bakau ini juga sangat berpengaruh dengan kehidupan nelayan di pesisir, karena bagaimanapun, lahan mencari nafkah nelayan berada di rimbunnya hutan bakau. “Kalau dulu, nelayan hanya mencari ikan dan udang di akar-akar bakau saja, tapi sekarang coba lihat, sampai tengah laut lepas sana pun, belum tentu mereka dapat,” katanya prihatin.
Untuk itu, bilangnya, perlu perhatian khusus terutama ketegasan pemerintah untuk mengawasi dan menindak tegas perambah hutan bakau yang dan tidak seenaknya memberikan izin atau kesempatan kepada pengusaha untuk merusak, bahkan melenyapkan hutan bakau yang menjadi pelindung dan penyokong hidup nelayan tradisional.

Selain itu, warga juga harus proaktif untuk menghijaukan kembali hutan bakau yang ada di daerah mereka masing-masing, sehingga sedikit demi sedikit, hutan bakau Langkat dapat tumbuh kembali seperti semula, meski akan memakan waktu yang relative lama. “Dalam hal ini, masyarakat juga harus turut serta untuk menyelamatkan hutan bakau secara bersama-sama,” harapnya.

Terpisah, Adi (58), warga Kelurahan Alur Dua Baru, Kecamatan Seilepan, Langkat, yang sehari-hari mengantungkan nasibnya sebagi nelayan tradisonal mengatakan, sejak dirinya melaut tahun 1972 silam, kondisi hutan bakau jauh berubah, malah saat ini kondisinya sudah mulai punah. “Jauh kali bedanya dulu dengan sekarang, kalau dulu, kiri kanan palu saja dipenuhi bakau, tapi sekarang, mau lihat rindangnya bakau saja sudah sulit,” ketus ayah anak tiga ini. (ndi)

Mengedukasi Masyarakat Pesisir
Upaya mengembalikan hutan bakau di pesisir pantai timur terus dilakukan, meski sebagian pihak terus melakukan pembabatan. Adalah Bambang Hendra Sutoyo, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) yang terus berjuang merehabilitasi hutan bakau tersebut.

Bersama sejumlah LSM, dia tak lelah mengedukasi dan membina masyarakat untuk menghijaukan kembali hutan bakau. Sejak lima tahun lalu, dia dan rekan-rekannya berjuang agar hutan bakau mulai pesisir Banda Aceh hingga Pantai Labu bisa dikembalikan seperti semula.”Menanam itu, mudah yang sulit bagi kita adalah bagaimana memelihara serta merawat tanaman yang baru ditanam,” bilangnya.

Dengan aksi tersebut, dia berharap pada 2020 Indonesia bisa mendapatkan devisa dari pajak karbon. Menurutnya, sesuai Protokol Kyoto tentang perubahan iklim, setiap negara yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melakukan konservasi hutannya, akan mendapat pajak karbon dari negara-negara penghasil gas karbon.

“Oleh karenanya, sejak sekarang kita membina masyarakat sekitar kita untuk menanam pohon dan menghijaukan hutan bakau, sehingga negara ke depan bisa meraih devisa dari pajak karbon,” bilangnya. Bambang berharap, pemerintah telah memikirkan pendapatan dari hal ini, bukan hanya memikirkan bagaimana caranya menghasilkan devisa dengan mengeksplotasi alam tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan yang ditimbulkanya. “Devisa bukan hanya dari perut bumi,” sebutnya. (btr)

No comments: