Thursday, March 19, 2009

Refleksi Hari Hutan Sedunia, 20 Maret Mari Selamatkan Hutan Kita

Oleh : Adisty Wardhani

Tahukah anda seberapa parah kondisi hutan di Indonesia? Setiap tahun kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar.

Ini berarti tiap menit hutan seluas 12 kali lapangan sepak bola hancur. Wilayah Indonesia yang mempunyai 17.508 pulau, pada mulanya awal 1970-an sekitar 57 persen daratannya adalah hutan atau sama dengan 108.573.300 hektar. Namun 35 tahun kemudian, berdasarkan data satelit yang dipantau Bank Dunia, hutan Indonesia tinggal 57 hektar dan hanya 15 persen diantaranya berada di dataran rendah. Bank Dunia mengingatkan pada tahun 1986, bahwa dalam 40 tahun ke depan jika laju percepatan hutan tidak bisa dihentikan, Indonesia akan menjadi negeri tandus alias padang pasir.

Dampak Kerusakan Hutan

Menurut Bank Dunia, dalam rentang waktu 2005-2010 seluruh hutan alam Sumatera akan punah. Selanjutnya hutan alam Kalimantan akan lenyap dalam kurun waktu 2010-2015. Saat itu, Bank Dunia juga melaporkan bahwa pada 2002 hutan di hutan Jawa Barat tinggal 9 persen dan beresiko punah pada tahun 2005.

Pulau Sumatera yang sampai 1970-an aman banjir, kini tiap tahun terendam banjir. Riau, Bengkulu, dan Jambi misalnya kini jadi langganan banjir tiap musim hujan. Sebaliknya di musim kemarau, banyak wilayah Sumatera kekeringan. Bahkan sejumlah danau yang airnya dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik di musim kemarau mengalami kekeringan. Akibatnya pulau Sumatera mengalami krisis listrik.

Hal yang sama terjadi di Kalimantan. Pulau yang dulu terkenal dengan hutan tropisnya yang amat kaya dengan keanekaragaman jenis itu, kini nyaris gundul. Hal itu misalnya bisa kita lihat ketika kita naik pesawat terbang melintasi pulau Kalimantan. Disana-sini pulau tersebut sudah botak dan hutannya habis. Kini kita pun menyaksikan betapa sungai-sungai penting di pulau Kalimantan, tak terkecuali sungai Kapuas dan Barito mengalami penurunan debit air yang amat besar. Bahkan sebagian sungai sudah kering. Kondisi tersebut akan berubah drastis di musim hujan. Banyak wilayah di Kalimantan yang dulu aman kini terendam banjir.Belum lagi longsor dan banjir bandang yang tiap tahun menelan ratusan korban jiwa di seluruh Indonesia.

Itu baru dari sisi bencana alam. Belum lagi dari sisi kerugian material dan ekosistem. Secara material, Indonesia mengalami kerugian Rp.30 trilyun tiap tahun akibat pencurian kayu. Belum termasuk pajak dan retribusi yang lain. Bila semua itu dihitung lalu ditambah dengan segala kerusakan hutan yang lain (satu penebangan pohon akan merusak ratusan bahkan ribuan meter persegi hutan saat kayu itu roboh, kayu dibawa dengan traktor, dan diseret ke sungai) akibat penjarahan kayu itu, tiap tahun Indonesia kehilangan lebih dari Rp.50 trilyun akibat kerusakan hutan itu.

Nilai tersebut jumlahnya sangat besar jika mengingat bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis ekonomi dan finansial. Kita bisa membayangkan dari kasus kehilangan kayu saja-bila presiden terpilih dapat mencegahnya- pemerintah dapat menghemat Rp.50 trilyun. Jumlah tersebut lebih dari cukup untuk membayar utang tahunan Indonesia-baik domestik maupun internasional.

Secara ekosistem, kerusakan hutan juga menimbulkan tragedi yang luar biasa. Ribuan jenis flora dan fauna ikut musnah bersama kerusakan hutan. Padahal diantara flora dan fauna itu ada yang bersifat endemik, yaitu hanya berada di wilayah tersebut saja. Ini artinya kerusakan hutan tersebut menimbulkan kerugian yang amat besar dalam ekosistem. Yaitu berupa hancurnya mata rantai kehidupan di planet bumi. Kehancuran mata rantai tersebut nilainya tiada tara besarnya karena menyangkut survivalitas kehidupan manusia sendiri.

Global Warming dan Kerusakan Hutan

Belum lagi kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kebakaran. Baik kebakaran yang disebabkan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab maupun yang disebabkan oleh alam itu sendiri. Pemanasan global (global warming) juga diyakini turut mempengaruhi peningkatan magnitude dan frekuensi kehadiran El Nino, yang memicu semakin besarnya kebakaran hutan. Inilah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 saja, menurut Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia mencapai US$ 8.855 termasuk didalamnya kerugian sektor perkebunan (berdasarkan luas area lahan yang terbakar US$ 319 juta dan kerugian sektor tanaman pangan (berdasarkan penurunan produksi beras) mencapai US$ 2.400 juta.

Dari data Badan Planogi (2004) diketahui kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta hektare, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektare, dan di kawasan hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektare. Departemen Kehutanan menyebutkan pada 2000-2005, laju kerusakan hutan Indonesia rata-rata 1,18 juta per tahun. Klimaks kerusakan hutan negeri ini disebabkan oleh praktek illegal logging sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara paling masif dalam laju kerusakan hutan.

Tanggung Jawab Bersama

Banyak orang menganggap banjir tahunan yang sering melanda ibukota Jakarta ini adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35 persen rusaknya hutan kota dan hutan di puncak adalah penyebab makin panasnya udara Jakarta.

Itu sebabnya kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia, melainkan juga warga dunia. Direktur Eksekutif Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan, Indonesia pantas malu karena telah menjadi negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi pemukiman atau hutan industri).

Karena salah satu penyebab terjadinya pemanasan global (global warming) adalah terdegradasinya kawasan hutan yang ada di muka bumi ini. Untuk mengurangi efek pemanasan global, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah tetap menjaga kelestarian hutan dengan cara melakukan tebang pilih dan reboisasi.
Pemerintah saat ini telah membuat KPH (Kelompok Pengelolaan Hutan) di seluruh kawasan hutan di Indonesia dengan tujuan memanfaatkan hutan sesuai peruntukkannya, seperti kawasan resapan air dan perlindungan seluruh satwa yang ada di dalamnya.

Lebih baik terus menjaga kelestarian hutan daripada melihat akibat yang ditimbulkan dari kerusakannya.

Jika kita tidak bisa menyelamatkan mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan di Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan di seluruh Indonesia tak ada yang tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tidak bisa lagi menghirup udara bersih.

Jika kita tidak secepatnya berhenti boros energi dan tetap terus merusak hutan, bumi akan sepanas planet Mars. Tak akan ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan, termasuk anak-anak kita nanti.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

No comments: