Tuesday, September 29, 2009

Melihat Sepotong Bali di Langkat

Dupa menyala. Altar pura penataran agung itu penuh dengan sesajen aneka penganan dan buah-buahan yang dipersembahkan warga. Dipimpin seorang pemangku adat, Dewa Putu Dana, tua-muda berdoa dengan hikmat. Puncaknya, mereka bersama-sama melarung sesajen ke sungai sebagai simbol menolak bala.

Adegan itu bagian dari ritual Mecaru. Sebuah tradisi masyarakat Bali menyambut datangnya Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931. Untuk melihat ritual Mecaru tidak harus ke Bali. Ritual itu berlangsung di Dusun VI Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kabupaten Langkat, Rabu (25/3) lalu.



Sejak siang hari warga Kampung Bali, khususnya kaum perempuan, berbondong-bondong membawa sesajen berisi buah-buahan dan aneka penganan menuju pura penataran agung Suka Duka Dirga Yuga, Cipta Dharma Langkat di desa itu. Dengan cara diarak, sesajen diletakkan pada kayu bambu yang disusun sedemikian rupa, dihiasai janur kuning.

Sesaat sebelum upacara dimulai, seluruh warga yang terdiri dari anak-anak, pria dan wanita berkumpul. Mereka memakai pakaian khusus. Untuk pria memakai pakaian berwarna putih, serta sarung warna kuning (pepeket) dan topi putih . Sedangkan untuk para perempuannya tidak ada yang khusus kecuali di kanan kiri kening tampak ada dua butir beras yang dilengketkan.

Menurut Ketut Sarto salah seorang sesepuh Kampung Bali, pakaian yang dikenakan memiliki makna filosofis. Pepeket yang dibelitkan di dipinggang berfungsi untuk menahan nafsu serta angkara murka (marah). Sedangkan arti baju putih sebagai simbol suci.

Setelah sesajen lengkap, saatnya pemangku adat Dewa Putu Dana membacakan doa-doa dengan bahasa Bali untuk memuja Widya Loka Nata (Sang Pencipta). Prosesi ini berlangsung lebih kurang satu jam. Selama prosesi ini warga diam duduk manis mendengarkan Dewa Putu Dana membacakan doa berbahasa Bali dengan hikmat. Kaum perempuan duduk bersimpuh, sedangkan prianya duduk bersilang.

Puncaknya, sesajen pun dilarung di sungai. “Maksudnya, untuk membuang bala, yang sebelum sesajen itu dibuang telah dilakukan ritual khusus serta beberapa mantra di bacakan,” kata Ketut Sarto.

Sepotong Bali

Melihat Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kabupaten Langkat tidak ubahnya melihat sepotong Pulau Dewata. Pura mudah ditemui pada kiri kanan jalan di pintu masuk. Sebagaimana pura yang ditemukan di Bali, pura di kampung itu identik dengan tempat suci, memiliki altar yang berfungsi untuk meletakkan sesajen.

Meski demikian, warga setempat ada yang menilai lebih. Selain makna ritual, pura sebuah penggambaran seni. “Warga Bali kaya dengan seni. Kita tidaklah menyembah patung. Karena tuhan itu tidak nampak, hanya berupa cahaya. Sedangkan kalau untuk gambar naga yang ada di pintu masuk maupun tempat sesajian, cuma hiasan saja,” terang Inenga Samba, seorang warga.

Tradisi Mecaru adalah salah satu budaya yang masih diwarisi warga Kampung Bali di Langkat. Tradisi itu dilaksanakan sehari menjelang Hari Raya Nyepi yang jatuh, Kamis (26/3) kemarin.

Seperti masyarakat Bali umumnya, dalam ritual Nyepi warga Kampung Bali pun melaksanakan ritual apa yang disebut Tapa Brata Penyepian yang jatuh tiap 420 hari sekali. Ada empat larangan yang tidak boleh dilakukan umat Hindu selama ritual pergantian tahun baru Saka tersebut. Keempat larangan itu amati karya (tidak boleh bekerja), amati geni (tidak boleh menyalakan api dan lampu), amati lelungan (tidak boleh bepergian), dan amati lelanguan (tidak boleh menikmati hiburan, seperti menonton televisi, mendengarkan radio, dan bercanda).

Biasanya, di Bali jika ada warga yang membandel tidak mematuhi empat larangan itu, maka akan dikenai sanksi adat. Sanksi ini berbeda-beda di masing-masing desa. Ada yang memberi sanksi denda uang ataupun denda kerja sosial. Pecalang (petugas keamanan desa adat) bertugas mengawasi warga yang melanggar keempat larangan ini.

Menurut Kepala Dusun VI Kampung Bali,Desa Paya Tusam ,Kabupaten Langkat Nyoman Sumandro sejarah “Kampung Bali” berawal dari sekitar tahun 1963. Para perantauan dari Pulau Bali yang bekerja kontrak selama 5 tahun di Kebun Tanjung Gabus memohon kepada Suka Duka di Medan untuk dibuat kampung khusus bagi warga Bali di Dusun Bingei, Langkat dan permohonan tersebut dikabulkan.

Kampung Bali pun resmi berdiri sekitar tahun 1970 -1975 sampai sekarang.

Menderes getah adalah pekerjaan sebagian besar warga di Kampung Bali. Menurut Nyoman Sumandro, dalam sebulan kampungnya mampu menghasilkan sekitar 32 ton getah karet yang kemudian dijual warga kepada toke di kampung seminggu sekali. “Penghasilan warga lumayan dan di sini tidak ada pengganguran, semua warga bekerja sebagai petani karet dan sawit,”ujar Nyoman Sumadro .

Saat Syamsul Arifin SE menjabat Bupati Langkat, Kampung Bali dicanangkan sebagai dusun Pariwisata Budaya Kabupaten Langkat. “Pak Syamsul waktu itu membantu pembangunan jalan di dusun ini,” kata Nyoman.

Warga pun mendukung pencanangan Kampung Bali sebagai desa wisata. Karena itu, baru-baru ini Kades Paya Tusam Susanto bersama warga menemui Muspida Pemkab Langkat di Stabat. “Dalam pertemuan tersebut kami meminta kepada Pemkab Langkat kalau memang Kampung Bali mau dijadikan kampung pariwisata maka kami minta agar di pintu masuk ke dusun kami dibangun gapura. Selain gapura kita juga usulkan disediakan gamelan. Sedangkan untuk gurunya kita sudah ada namun gajinya harus ditanggung pemerintah,”kata Nyoman.

Muasal Kampung Bali juga diceritakan Nengah Kariadi, selaku ketua Suku kampung Bali. Menurutnya, semuanya berawal dari adanya ikatan kontrak kerja terhadap warga Bali di PTP II Tanjung Garbus Lubukpakam pada tahun 1974. Kemudian setelah habis kontrak para pekerja berencana untuk menetap di Sumatra Utara. Awalnya, pemerintah pada waktu itu memberikan lokasi TNB (Tanah Negara Bebas) di desa Paya Tusam Kecamatan Sei Wampu Kabupaten Langkat sebanyak sekitar 2 hektar. “Dari lahan 2 hektar itulah bapak kami dulu membangun desa Kampung Bali ini,” katanya.

Begitulah. Dengan luas sekitar 200 hektar, Kampung Bali di Langkat yang dihuni oleh 105 KK mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu. Karenanya, begitu memasuki hari-hari besar agama Hindu, seperti Hari Raya Nyepi barusan, suasananya begitu terasa. Bali sekali!

YUNI-FAUZI | GLOBAL | Langkat

No comments: