Wednesday, November 30, 2011

Empat Dilema yang Membuat Eropa Karut-marut



Shutterstock

FRANKFURT, KOMPAS.com 
— Eropa terus berusaha mencari penawar rasa sakit akibat masalah keuangan. Sejatinya, Uni Eropa telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan besar yang berhasil memicu reaksi di pasar dunia. Namun pada kenyataannya, krisis belum usai.
Bagi pasar, masalah yang mereka hadapi tampak rumit dan saling berhubungan satu sama lain. Namun pada dasarnya, ada empat faktor besar yang membuat penyakit tersebut menjalar. Dilema itu harus mereka hadapi dan menjadi pilihan yang sulit.
Krisis yang terjadi bisa membuat Uni Eropa makin kuat atau sebaliknya, mencerai-berai hingga menghasilkan pakta baru.
Inilah empat dilema besar yang membuat karut-marut kondisi Eropa.
Debitur vs kreditur
Seperti krisis yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, Eropa juga dihadapkan dengan membubungnya utang pemerintah dan sektor swasta. Bahkan, banyak di antaranya yang tidak terbayar.
Jadi, pertanyaan besarnya adalah berapa banyak utang yang akan di-write off dan siapa yang akan bertanggung jawab menutup kekosongan tersebut?
Masalah utang zona euro sebenarnya sebanding dengan permasalahan utang di Amerika. Utang tersebut punya potensi untuk dikelola. Masalah besarnya adalah, utang antara satu anggota Uni Eropa dan anggota lainnya berbeda-beda. Beberapa negara memiliki jumlah utang yang sangat besar.
Oktober lalu, akhirnya debitur terpaksa merelakan piutangnya kepada Yunani dipotong 50 persen. Dampak negatifnya, investor berpikir piutang di beberapa "pesakitan" lainnya, seperti Portugis, Irlandia, bahkan Spanyol dan Italia, akan mengalami nasib serupa. Bukannya untung, penanam modal justru buntung.
Sebab, jika kredit macet dihapus, artinya ada pihak yang harus menanggung rugi. Inilah alasan utama hilangnya kepercayaan pada sistem perbankan Eropa.
Perekonomian terbesar Uni Eropa, yaitu Jerman, juga mengalami dilema besar, antara menyelamatkan negara-negara kawasan atau menyelamatkan industri perbankannya. Pada akhirnya Jerman sedikit menyampingkan masalah kawasan dan memilih menyelamatkan industri perbankan dalam negeri. Republik Irlandia, misalnya, secara langsung menunjukkan bahwa negara lain tak bisa melakukan upaya yang sama dengan Jerman.
Seakan tak mau repot, Uni Eropa meminta perbankan memperkuat modal hingga 100 miliar euro. Namun hingga saat ini, belum jelas apakah industri perbankan mampu memenuhi ultimatum otoritas tanpa dukungan dari pemerintah.
Jika negara-negara Eropa lain yang tengah terbelit krisis melakukan penghapusan utang obligasi, seperti Yunani, maka industri perbankan perlu ditolong dan memerlukan dana yang sangat besar.
Pada akhirnya, Jerman dan negara lain yang utangnya tak bermasalah harus menanggung risiko, yaitu menyelamatkan perbankan di tengah lemahnya pemerintahan.
Penghematan vs pertumbuhan
Seperti kita ketahui, Eropa harus bisa memacu pertumbuhan ekonomi saat melakukan penghematan fiskal.
Di tengah tekanan Jerman dan European Central Bank (ECB), semua "pesakitan" terus menciutkan anggaran belanja. Agar pendapatan naik, pemerintah harus rela mengorbankan rakyat dengan memungut pajak yang amat menyakitkan.
Beberapa negara terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pegawai negeri. Imbasnya, aksi protes dan kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti di Yunani. Ingin memberikan contoh yang baik bagi anggota zona euro, Jerman akhirnya akan menekan defisit anggaran pada 2013.
Masalahnya adalah penghematan berarti membunuh pertumbuhan ekonomi seluruh Eropa.
Meskipun mendapatkan sedekah pajak, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi lemah, sulit bagi pemerintah untuk menekan pinjaman mereka, bahkan membayar kembali utang yang ada.
Peran Bank Sentral Eropa pun digenjot. Meski baru sehari menjabat sebagai Gubernur ECB, Mario Draghi melakukan tindakan ekstrem dengan memangkas bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 1,25 persen. Otoritas moneter ini pun diam-diam membeli obligasi sejumlah negara.
Namun, ujung-ujungnya, bank sentral dianggap lebih banyak membeli surat utang Italia dan Spanyol, memompa uang tunai ke sistem keuangan keduanya untuk mengurangi tekanan. Kenyataannya, langkah ini ditentang oleh anggotanya sendiri, yaitu Jerman.
Pilihan lain untuk memacu ekonomi adalah menerbitkan surat utang melalui EFSF. Beberapa negara lain bersedia memberikan pinjaman. Akan tetapi tentu saja, pinjaman ini tak murah.
Jerman dan Perancis pun berseteru. Langkah Perancis yang memohon bantuan China disalahkan Jerman. Sebab, bagi Jerman, meminjam dana dari tempat lain itu merupakan hal yang terlarang.
Disiplin vs solidaritas
Pandangan Jerman pada krisis zona euro sangat sederhana. Pemerintah Eropa Selatan yang memberikan suku bunga tinggi harus dihukum dan harus belajar disiplin.
Jerman menginginkan, Eropa Selatan memasukkan aturan-aturan yang ketat dalam memutuskan besaran anggaran. Hal itu bermanfaat untuk menghentikan kecerobohan di masa depan.
Namun, aturan yang disertai denda atau penalti mungkin tidak kredibel. Jerman merusak sendiri pakta stabilitas dengan melindungi mereka atas nama solidaritas euro. Tujuannya adalah menjaga euro menjadi mata uang tunggal yang stabil.
Sementara itu, Jerman memandang Yunani yang berusaha mendapatkan tempat pertama pada bantuan Uni Eropa dianggap tidak adil bagi Spanyol.
Sebelum krisis, Spanyol memiliki tingkat utang yang lebih rendah dari Jerman. Namun, negara tersebut mengalami bubble properti yang akhirnya meledak dan menimbulkan kekeringan ekonomi. Upah selama bertahun-tahun yang stabil sekarang tak kompetitif lagi. Pengangguran melonjak hingga 20 persen.
Dalam krisis ini, sekali lagi Jerman yang pada akhirnya akan menanggung banyak tagihan.
Eropa vs tiap negara
Di tengah kebuntuan politik Eropa, Jerman harus berhadapan dengan kenyataan default Eropa Selatan.
Krisis ekonomi negara sebenarnya dibangun di atas kekuatan mata uang, kondisi keuangan yang aman, dan laju ekspor yang kuat. Namun, pemilihan euro sebagai mata uang tunggal Uni Eropa tak semudah skenario awal.
Eropa Selatan menyimpulkan, penyatuan tersebut menimbulkan inflasi dan mahalnya biaya hidup di sana.
Salah satu negara, yaitu Yunani, pernah mengusulkan referendum agar bisa keluar dari zona euro. Meskipun usulan itu urung dilakukan. Yang jelas, jika Yunani, Italia, dan utang negara-negara lainnyadefault, Jerman dan Prancis bakal dianggap sebagai pecundang. Bahkan, jika pesakitan ini memilih untuk meninggalkan euro, maka hal tersebut bakal menjadi hukuman dan bencana keuangan bagi semua pihak.
Sejak awal berdirinya pada 1950-an, Uni Eropa telah berjalan dan dikendalikan oleh klub pemerintah nasional. Proses politik menjadi salah satu isu tawar-menawar di balik pintu tertutup. Isu-isu terus disuplai ke beberapa negara pemilih dengan nama kepentingan nasional.
Akibat penyatuan ini, setiap kebijakan harus disetujui oleh 17 pemerintahan dan diratifikasi oleh 17 parlemen. Uni Eropa pun akhirnya dinilai lamban menuntaskan masalah keuangan karena harus melibatkan persetujuan banyak pihak. (Dyah Megasari/Kontan)

No comments: