Tuesday, October 13, 2015

Batu Belah di Marike, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat

BATU BELAH BATU BERTANGKUB DITEMUKAN DI LANGKATgbr



Kita semua pasti pernah mendengar cerita atau dongeng tentang batu belah saat duduk dibangku sekolah atau dongeng orang tua sebelum tidur. Beragam cerita yang didengar dari mulut kemulut tadi, mulai dari asal muasal batu yang disebut anak durhaka yang dikutuk oleh orang tuanya menjadi batu hingga cerita-cerita misteri lainya yakni batu yang memakan manusia.
Tidak diketahui dari mana asal muasal cerita tersebut. Begitu juga dengan letak batu yang dikabarkan menyimpan sejuta cerita itu. Namun, keberadaan Batu Belah itu dikabarkan terletak di daerah Marike salah satu Desa di Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Hal ini diketahui  setelah salah seorang warga yang mengaku punya kaitan dengan cerita batu belah tadi banyak membeberkan peristiwa terkait batu belah itu.
Penulis berangkat dari Kota Binjai menuju  lokasi batu belah tersebut  dengan mengendarai mobil Taff , Jumat( 15/4) sore. Rasanya ada semacam getaran aneh yang begitu kuat menuntun langkah  untuk menyambangi batu belah tersebut.  Diatas kendaraan, bermacam-macam muncul pemikiran tentang batu belah tadi. Ada semacam kebanggaan bisa melihat langsung batu yang tercatat dibuku itu, ada juga kecemasan mengingat rawannya tempat yang akan didatangi.
Sebagai jurnalis  tak ada alasan untuk tidak mendatanginya. Beberapa saat berkendaraan , penulis sampai di Marike. Desa yang didominasi masyarakat (suku) Karo ini tampak sepi mungkin karena saat itu hujan menguyur, hanya sesekali tampak sepeda motor melintas. 
Dari pekan Marike ini, seterusnya penulis menuju Kampung (kuta) Harapan dimana warga yang menuntun penulis menuju Batu belah tinggal di Kampung ini. Agak melelahkan bisa sampai ke Kampung Harapan, Kecamatan Salapian, Langkat ini sebab, sepanjang jalan dari Marike menuju kampung itu rusak berat, batu-batu koral menonjol disepanjang jalan ditambah lubang disana sini membuat laju kendaraan hanya 20 Km/jam.
Beruntung tak ada aral melintang dijalan hingga ahirnya  tiba dirumah warga yang disebutkan tadi. Selanjutnya malam itu kami menginap sekaligus melepas lelah dirumah warga bermarga Bangun ini untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan esok pagi. Usai sholat subuh, Sabtu (16/4) sekitar pukul 06.00 Wib, penulis meneruskan perjalanan menuju lokasi Batu Belah ditemani Francis Bangun (48) cicit kesembilan yang mengaku moyangnya telah dimakan batu belah tersebut
Kampung Boga Male
Kali ini perjalanan kesana harus mengunakan sepeda motor, sebab jalan yang akan dilalui jurang terjal, jalan mendaki serta melintasi beberapa anak sungai. Perjalanan penulis dimulai dari kampung Pondok Sinembah, kemudian belok kanan dilanjutkan ke kampung Namo Teras, lalu masuk Kampung Penusunan, kampung Durian Mulo, Desa Namo Teras, Simpang Godang, Simpang Terong, kampung Dagang Batu, Kuta Pola, Kampung Suka Dame, Kampung Tj Beringin, Tanjung Bangun, Buluh Kumpal serta Simpang Rampah.
Menjelang pukul 16.30 Wib, ahirnya penulis dan penunjuk jalan sampai di Simpang Rampah, dari sini perjalanan kemudian dilanjutkan ke kampung Boga Male, Kecamatan Kutambaru, Langkat. Dikampung Boga Male inilah batu belah itu berada. Beberapa warga yang ditanya mengaku takut datang ketempat itu, selain lokasinya angker, warga juga masih ingat dengan pesan-pesan orang-orang tua mereka agar tidak mendatangi lokasi batu belah tersebut.
Bahkan warga yang terahir kali ditanya tentang batu belah mengingatkan penulis untuk tidak kesana. . Jangan kesana dek, tempatnya angker, dan bahaya, takutnya ada apa-apa, saya aja yang ladangnya bersebelahan dengan letak batu belah itu ngak pernah ketempat itu, ngak berani, itu letaknya dibawah sana,  bilang ibu yang mengenakan penutup kain dikepalanya itu sambil mengarahkan jari telunjuknya kedalam jurang yang ditumbuhi pepohonan semak belukar.
Ada semacam penomena aneh saat itu, secara tiba-tiba cuaca yang tadinya cerah, berubah mendung dan rintik hujan langsung jatuh menimpa dedaunan pohon karet dibibir jurang itu. Kalau hujan nanti takutnya ngak bisa pulang, bagusan ngak usah aja kesana,  peringatkan ibu ini lagi seraya berpamitan hendak pulang kerumahnya.
Meski ciut juga mendengar cerita siibu tadi, tapi kesempatan yang sudah didepan mata untuk melihat batu belah itu rasanya tak mungkin untuk disia-siakan. Diawali dengan membaca bismilah serta mengucapkan salam kepada penghuni (mahluk) tak kasat mata dihutan ini, penulis mulai menuruni jurang yang diatasnya telah ditumbuhi pohon-pohon karet bersama Bangun.
Beberapa kali penulis terjatuh karena licinya tebing jurang ini. Langkah penulis dan Bangun yang menemani sempat terhenti karena tidak menemukan jalan mendekati batu belah yang berada diseberang jurang. Tak punya pilihan lain, ahirnya penulis dan Francis Bangun memutuskan menerobos semak belukar yang begitu rimbun itu.
Melewati anak sungai dan rimbunya pohon bambu langkah penulsi kian mendekati batu belah tadi. Rimbunya pohon rambung merah,  pohon beringin serta pohon hutan lainya, seakan mengambarkan tempat ini seperti sebuah perkampungan yang begitu nyaman bagi  kaum lelembut. Bulu roma  sempat bergidik juga saat itu, apalagi ketika diberitahu tinggal beberapa meter lagi sampai dilokasi batu belah tersebut..
Ahirnya apa yang dicari telah ditemukan. Batu belah yang selama ini didengar hanya dalam cerita dongeng sudah terongok didepan. Rasa syukur langsung terucap di bathin penulis atas lindungan sang pencipta karena melindungi hingga selamat sampai ketempat ini. Tak lupa, penulis mengucapkan salam kepada mahluk penghuni disekitar tempat ini. Walau tak kelihatan oleh mata kasar, tapi kehadiran mereka dapat dirasakan seperti menyambut kedatangan kami.
Batu belah yang melegenda itu, tampak ditumbuhi semak-semak dibagian atasnya, serumpun pohon bambu tumbuh dibangian samping pohon tersebut hingga akarnya menutup mulut batu. Sebatang pohon hutan sebesar pergelangan tangan tampak berdiri disisi kanannya. Sedangkan dibawah batu belah tersebut terdapat anak sungai yang airnya begitu jernih.
Sekitar tiga meter dari batu belah terdapat sebuah batu yang sama besarnya dengan batu belah tadi, menurut cerita batu besar ini adalah pasangan batu belah, sedangkan sekitar 100 meter dihilir sunggai terdapat juga batu yang katanya anak batu belah, sebab batu tersebut juga mengangga.
 Inilah batu belah itu, kalau yang itu menurut cerita pasanganya, sedangkan yang dibawah sana anaknya,  bilang Francis Bangun sambil menghempaskan pantatnya diatas bebatuan.  Dulu disekitar sini perkampungan, namanya kampung Boga Male dihuni 24 kepala keluarga (KK), sedangkan sungai tempat kita sekarang ini berada adalah tempat pemandian warga kampung, makanya kalau mau turun kesungai melewati atas batu belah tadi, ujar Bangun menjelaskan.
Ini dulu semua ladang kakek kami, dari sinilah dulu warga yang mau keladang atau pulang dari ladang lewat, inilah jalannya, jadi dari atas batu inilah dulu lewatnya  timpal Bangun seraya menunjuk ketanah. Karena banyak warga yang hilang ditempat ini secara misteri, ahirnya orang-orang kampung mulai takut dan memilih meningalkan Kampung Boga Male.
BATU PEMANGSA MANUSIA
batu belah
 Kalau cerita orang tua kami, bilang Bangun, banyak warga yang hilang ditempat ini, diyakini telah dimakan oleh  Batu Runggang (Batu Belah-red), tak hanya itu, hewan ternak seperti babi, anjing juga dimakan batu Belah, katanya. Dan yang terahir dicurigai atas hilangnya istri Jumpa Malem Bangun beru Ginting yang tak lain nenek Francis Bangun sendiri.
 Nenek kami katanya juga dimakan batu belah ini, sebab hingga kini tak diketahui dimana keberadaanya,  cerita Bangun. Sambil menyulut api rokoknya, Bangun melanjutkan cerita. Kakekku dulu namanya Jumpa Malem Bangun, dulu disinilah ladangnya, sedangkan istrinya beru Ginting.
Diladang ini dulu, kakek ada memelihara 5 ekor anjing, tapi semuanya hilang entah kemana diduga dimakan batu belah. Sebelumnya warga kampung yang pergi berburu juga banyak yang hilang dikawasan ini, belakangan, beru Ginting yang pergi kesungai juga hilang. Oleh bolang (kakek-red) ku, keberadaan nenek dicari kesana kemari, puas mencari, Bolang (kakek) pergi kesungai untuk membersihkan diri, waktu itulah ia melihat banyak percikan darah diatas tanah diantara rumput-rumput.
Keesokan harinya, karena curiga dengan percikan darah tersebut, kakek lalu mencari tau apa yang telah terjadi ditempat itu hingga ada darah. Kemudian diambilnya seekor anak babi. Anak babi tadi lalu diikatkan kesebatang galah, kemudian digantungkan persis ditempat ini. Dari kejauhan, Jumpa Malem Bangun memerhatikan apa yang terjadi.
Saat itulah bukan main terkejutnya ia melihat sebuah batu yang berada ditanah terbuka layaknya mulut yang menganga. Berulang kali batu belah tadi membuka dan menutup mulutnya seperti berusaha hendak memakan anak babi tadi. Merasa batu belah inilah yang telah memakan istrinya, maka marahlah Jumpa Malem Bangun. Ia kemudian mengangkat sebongkah batu sebesar tong drum lalu mencampakkan kedalam mulut batu yang tenggah menganga tadi.
 Itulah batu yang dicampakkan bolang dulu sampai sekarang batu itu masih menganjal didalam, kalau dulu asal kita jatuhkan batu kedalam mulut batu belah itu ngak kedengaran suara jatuhnya,  ujar Bangun seraya mengaku batu belah tadi dulunya mirip manusia yang punya hidung, mata, telinga, lidah dan mulut.
Kalau dulu kita liat macam manusia yang tidur terlentang sambil membuka mulutnya,” tambahnya. Konon, sebelum beru Ginting yang dimakan Batu Runggang atau batu belah tadi, mertua perempuannya lebih dulu dimakan oleh batu belah.
Ceritanya, pada suatu hari, mertua laki-laki beru Ginting pergi mencari belalang disawahnya. Belalang-belalang tersebut dikumpulkan didalam sebuah tempat. Rencanannya  belalang tersebut akan dijadikan lauk makan siang itu.
Tapi tanpa sengaja salah seorang anak beru Ginting membuka tutup tempat belalang tadi hingga lepaslah semua belalang yang ada didalamnya. Mengetahui hal ini, marahlah Bangun suami beru Ginting kepada anaknya hingga terjadilah pertengkaran antara suami istri ini.
Konon marah Bangun kian menjadi-jadi hingga perang besarpun terjadi antara dirinya dan sang istri. Karena terlalu emosi, Bangun tanpa sadar memotong sebelah buah dada istrinya. Merasa dirinya sudah tak lagi disayang sang suami, istri Bangun tadipun pergi meningalkan rumah dan mendatangi batu Runggang. Berlinang air mata, beru Ginting berjalan menuju batu belah. 
Ditempat itu dengan perasaan yang begitu sedihnya bercampur putus asa, beru Ginting berujar diatas batu yang didudukinya. “ Hai batu runggang, makanlah aku, tinggalkan rambutku tujuh lembar dan darahku tujuh tetes, biar menjadi saksi aku ditempat ini.” Katanya dan secara tiba-tiba mengangalah batu yang didudukinya tadi dan hilanglah beru Ginting didalam mulut batu Runggang tadi.
 Cerita ini sudah turun temurun dikeluarga kami, kalau aku ini keturunan yang kesembilan, kalau dulu di batu runggang ini sering dijadikan warga sekitar tempat meminta, atau kalau disuku karo dijadikan tempat memuja, tapi sekarang setelah warga punya keyakinan atau agama, hal itu sudah tidak lagi dilakukan, ungkap Bangun mengahiri ceritanya. langkatonline/DS

No comments: