ADA revolusi yang lebih hebat dari kemajuan teknologi informasi. Revolusi yang bisa mengalahkan segala teori tentang peradaban manusia di masa lalu. Sekaligus revolusi besar di bidang kesehatan dan kedokteran yang memungkinkan sebuah penyakit bisa ditanggulangi sebelum sempat mewabah. Itulah revolusi genom.
Awal tahun 2001, mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair mengumumkan selesainya konsep pertama dari peta urutan nukleotida genom manusia. Pengumuman ini menandai selesainya tahap pertama dari Human Genome Project atau Proyek Genome Manusia yang bertujuan menguraikan urutan nukleotida genom manusia yang merupakan cetak biru penentu sifat kita sebagai manusia.
Dengan keberhasilan tahap pertama ini maka pintu selanjutnya telah terbuka bagi kita untuk melangkah ke tahap berikut. Pengetahuan baru tentang proses kehidupan di tingkat paling fundamental membuka cakrawala baru dalam bioteknologi serta dampaknya terhadap bioindustri dan bioekonomi.
”Di masa depan kelak jika seseorang menderita sakit maka tak perlu lagi diadakan pemeriksaan secara keseluruhan, cukup dilihat dari data gen-nya saja dan akan bisa ditentukan cara pengobatan apa yang paling cocok baginya,” demikian Prof.dr.Sangkot Marzuki,PhD dalam orasi ilmiah memperingati Ulang Tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ke-34 di Jakarta Rabu (22/8).
”Memang sangat disayang-kan bahwa pada saat dunia pengetahuan sedang heboh dengan revolusi genom, justru bertepatan dengan saat terjadinya krisis politik dan ekonomi di Indonesia. Inilah sebuah kendala yang menyebabkan Indonesia sedikit tertinggal di bidang genom dibanding dengan negara Asia lain seperti Jepang dan Cina. Tapi itu bukan berarti bahwa Indonesia sama sekali tidak mengikuti perkembangan revolusi ini,” ujar peraih gelar PhD di Monash University, Australia, ini.
Kenyataan itu dibuktikan Sangkot dengan uraiannya mengenai penelitian keanekaragaman genom manusia Indonesia yang berhasil memberi gambaran tentang kekerabatan berbagai populasi etnik di kepulauan Nusantara. Dalam menyelusuri sejarah manusia Indonesia dan masa depan, pria kelahiran Medan ini telah bekerja sama dengan kelompok peneliti di Lembaga Eijkman.
Bermula di Afrika
Adalah Alan Wilson yang mempelopori pemanfaatan variasi DNA mitokondria dalam penelitian sejarah asal-usul manusia di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Dengan membandingkan DNA mitokondria dari sekitar 150 individu yang berasal dari benua Afrika, Asia, Eropa dan Australia, kelompok peneliti ini berkesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika. Hasil ini menunjukan bahwa manusia modern (Homo sapien sapiens) berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau. Migrasi manusia modern yang keluar dari Afrika diperkirakan terjadi sekitar 100.000 tahun lalu.
Sangkot juga mengemukakan implikasi penting dari hasil penelitian di atas adalah teori yang mengatakan bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin) menjadi lemah. Manusia purba yang fosilnya ditemukan di berbagai situs di Jawa (Homo erectus) dan di Cina (Peking Man) tidak memberi kontribusi terhadap perkembangan manusia modern di Asia Timur.
Homo sapiens pertama kali menjejakkan kaki di kepulauan Nusantara sekitar 60.000 tahun lampau. Manusia purba Homo erectus yang hidup di Jawa sejuta tahun lalu merupakan missing link dalam evolusi.
Tak ada kaitan antara mereka dengan manusia Jawa Modern yang hidup saat ini. Saat Homo sapiens mendarat di kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.
Jika kita lihat penduduk kepulauan Nusantara saat ini, paling tidak ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini, dengan ciri fisik Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa, yaitu bahasa-bahasa Autronesia yang menunjukan mereka berasal dari satu nenek moyang. Sedangkan di Indonesia bagian timur dan Irian terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.
Lalu darimanakah asal populasi Autronesia ini? Berdasar bukti arkeologi menunjukan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi menunjukan munculnya juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid. Populasi Mongoloid ini menyebar ke segala penjuru kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000 tahun lalu dengan membawa bahasa Austronesia dan teknologi pertanian.
Populasi Indonesia
Bersama dengan Ilmuwan dari Lembaga Eijkman dan Bioteknologi Universitas Gajah Mada, Sangkot yang menyelesaikan Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia tahun 1968 ini telah memeriksa lebih dari 800 DNA mitokondria dari 26 populasi etnik. Hasilnya sangat menarik.
Pohon filogenetik yang dibangun berdasar keanekaragaman DmtDNA dari berbagai populasi Indonesia tersebut menunjukkan dengan jelas adanya struktur pengelompokan populasi. Pertama, populasi berbahasa papua dari Alor dan Papua Barat membentuk satu kelompok. Sedangkan populasi berbahasa Austronesia membentuk kelompok lain. Pada kelompok Austronesia ini terlihat adanya pengelompokan tambahan, Indonesia barat seperti populasi Batak, Jawa, Minang dan Melayu membentuk satu kelompok. Sedangkan populasi Indonesia timur seperti Sasak, Makasar, Bugis, Waingapu dan Sumbawa membentuk kelompok lain lagi. Uniknya ternyata populasi Nias membentuk cabang sendiri pada pohon filogenetik ini.
Sampai saat ini Prof.Sangkot masih terus melanjutkan mencari bukti yang lebih kuat mengenai asal-usul nenek moyang populasi Austronesia. Hipotesa alternatif yang menjadi fokus penelitian adalah bahwa nenek moyang Austronesia berasal dari daratan Sundaland yang tenggelam pada akhir zaman es. Ini masih menjadi sebuah missing link yang menjadi misteri. Kendala besar dalam pembuktian hipoteses Sundaland sebagai tanah asal Austronesia adalah kenyataan bahwa sebagian besar bukti arkeologi telah hilang bersama dengan daratan Sundaland itu.
Bersama Pusat Arkeologi nasional, ilmuwan Lembaga Eijkman yang dimotori oleh Sangkot telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-30000 tahun. Penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali menunjukan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada kenyataannnya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.
Penanggulangan Penyakit
Sangkot yang menyelesaikan program pasca sarjananya di Bumiphol, Thailand tahun 1971 juga telah bekerjasama dengan kelompok peneliti thalassemia di Lembaga Eijkman untuk mempelajari penanggulangan penyakit bawaan ini dengan memanfaatkan DNA mitokondria. Penyakit bawaan darah merah ini mempunyai frekwensi pembawa sifat yang tinggi, yaitu lima hingga 15 persen dari populasi di Indonesia. Mutasi yang mendasari penyakit ini ternyata sangat beragam, dan tiap populasi menunjukkan spektrum yang khas. Pemahaman kita tentang pengelompokan populasi Indonesia berdasarkan analisa DNA mitokondria telah membantu ilmuwan kita untuk menganalisa spektrum mutasi thalassemia di atas.
Temuan lain yang diungkap Sangkot adalah lebih dari 30 persen manusia Indonesia membawa mutasi gen yang menyandi cyp2c19, suatu sistem enzim yang penting untuk metabolisme berbagai obat termasuk antimalaria proguanil. Individu yang membawa mutasi di kedua gen cyp2c19 akan menjadi sangat lambat dalam mencerna obat-obat jenis itu dengan potensi terjadinya overdosis. Hal ini menjadi sebuah kemajuan di bidang kedokteran, dimana kelak dokter akan tahu sejak awal jenis obat apa saja yang cocok bagi pasiennya tanpa perlu diujicobakan lebih dulu.
Prof, Dr,Sangkot Marzuki kini masih aktif di Lembaga Biologi Molekul Eijkman, Jakarta dan terpilih sebagai doktor tinggi di laboratorium Monash Universtity, Australia. Pria berusia 44 tahun ini berkemauan keras untuk terus melanjutkan penelitian tentang DNA mitokondria pada populasi manusia Indonesia. Menurutnya, hanya dengan meningkatkan kemampuan penelitian genom di Indonesia maka kita dapat bekerja sama dengan peneliti dunia. (mer)
No comments:
Post a Comment