Monday, July 23, 2012

Abdul Hamid: Tak Ada Besi Harus Dicari

Plesetan pepatah ‘tak ada besi rotan pun jadi’ tampaknya tak berlaku bagi Abdul Hamid (50). Buktinya, ketika besi sulit didapat di Tebing Tinggi, dia pun mencari hingga Medan. Ya, dia memang seorang pandai besi dan tidak berpikir sedikitpun untuk berpindah ke bisnis ‘rotan’.
Begitulah, Abdul Hamid memang harus menjalani usaha yang diwariskan oleh orangtuanya, H Sakban. Usaha pembuatan berbagai benda tajam dari bahan besi tersebut telah berdiri sejak 1964 lalu. Tidak berlebihan jika usaha yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Lingkungan III, Kelurahan Durian, Kecamatan Bajenis Tebing Tinggi tersebut sangat dikenal. Selain telah hadir cukup lama, hasil buatan mereka cukup bisa diandalkan. Sayang, hasil dari karya mereka tak sebanding dengan kerja. Buktinya, pada tahun 2000 H Sakban menyerah. Dia tak sanggup lagi meneruskan usahanya tersebut.
Lalu, Abdul Hamid yang merupakan anak kelima dari delapan bersaudara tampil sebagai penyelamat. Dengan semangat dia ambil alih usaha bapaknya itu. Dari tangannya pun lahir kampak sawit (dodos), parang, pisau, babat, arit, dan sebagainya. Sejatinya hal itu tak sulit, pasalnya sejak kecil dia telah mendapat ilmu dan pengalaman dari H Sakban. “Hasil kerja memang tak seimbang dengan pendapatan, namun kita teruskan usaha orangtua yang sudah menjadi amanah,” Ujar Hamid.
Mungkin, menjalankan amanah tersebutlah yang menjadi penyemangat Hamid. Buktinya, usahanya terus melaju. Pesanan benda tajam karyanya terus mengalir. Bahkan, tidak hanya dari Kota Tebing Tinggi saja, hasil karyanya pun diakui di luar kota seperti Rantau Prapat, Medan, dan sebagainya. Tidak hanya itu, lima anak yang ditanggungnya pun bisa bersekolah tinggi, tidak sepertinya yang hanya sampai duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, meski karyanya dapat diandalkan, kenyamanan hidup memang sulit diraih. Bukankah tidak setiap hari orang membeli parang atau pisau layaknya orang membeli beras? “Usaha ini hanya bisa untuk makan sehari-hari. Untuk hidup senang atau mewah tentunya sulit. Karena itu, saya tak mau anak-anak saya menjadi pandai besi juga. Saya tak mau mereka seperti bapak dan kakeknya yang setiap hari bergaul dengan besi,” lirih Hamid.
Seiring waktu, Hamid memang cenderung mendapati masalah. Pasalnya, besi sebagai bahan baku untuk usahanya bukan barang yang mudah didapat. Ya, dia membutuhkan besi bekas semacam gerdang kendaraan roda empat yang sudah rusak. Biasanya dia mendapatkan benda itu dari para pengepul besi yang ada di Kota Tebing Tinggi. Namun, benda itu tak selalu tersedia. “Bahkan kami harus mencari dan membeli sampai ke Medan, itu pun harganya sangat mahal sampai mencapai Rp7000 per kilonya. Untuk pembakaran, kami lebih memilih arang dari Pekanbaru karena baranya mampu bertahan lama,” jelas Hamid.
Hasil karya Hamid dijual dengan harga yang terjangkau, seperti parang dijual dengan harga Rp20.000, babat dijual dengan harga Rp20.000, kampak sawit dijual harga Rp20.000 dan alat pemanen buah sawit (eggrek) dijual dengan harga Rp50.000 per buahnya. Sementara, bila disetor kepada penjual yang ada di Kota Tebing Tinggi harga sampai turun 50 persen dari harga jual ke pembeli langsung.
Dalam melangsungkan usahanya, Hamid dibantu oleh 4 orang anggota yang semuanya adalah kerabatnya. Per harinya mereka mampu menghasilkan 30 buah parang. “Beruntung kadang-kadang kami dapat pesanan dodos (kapak sawit) dan eggrek (alat pemanen sawit yang lebih panjang dari dodos, Red) dari perkebunan hingga ribuan buah, jika tidak bisa gawat usaha ini,” tegas Hamid. (mag-3)

Kepala Benjol, Kulit Melepuh, Tangan Sekasar Karang
Jangan bermain api, pesan orangtua kepada anaknya. Ya, api kecil menjadi kawan dan api beras menjadi lawan. Namun, bagi pandai besi Abdul Hamid, kalau tak ada api, bagaimana mau mendapat penghasilan.
Ya, sebagai pandai besi memang banyak risikonya. Selain terus berada di areal yang sangat panas, ternyata kepala benjol terkena godam (martil) dan kulit melepuh terpercik api menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. “Itulah risiko pandai besi,” kekeh Hamid.
Hamid menerangkan, alat-alat bantu untuk usahanya adalah godam sebagai pemukul besi, paron sebagai alas tempat pemukulan, pahat, blower (kipas angin) dan grenda sebagai penajam hasil. Nah, dalam pembuatan parang butuh proses sampai 6 kali pembakaran dari bahan awal hingga menjadi parang. Besi pun dibakar dengan suhu mencapai 500 derajat celcius.
Sebagai catatan, dalam hal pembuatan, pemukulan yang dilakukan oleh empat orang harus kompak secara bergantian, apabila tidak kompak maka godam akan mengenai kawan. “Kalau tidak bisa benjol kepala kawan,” kata Hamid.
Selain benjol, kulit juga bisa melepuh. Bukan sesuatu yang tak biasa bagi pandai besi terkena percikan api. Pasalnya, dalam proses pembuatan, besi yang panas itu memang dipukul berulang-ulang agar pipih. Nah, saat pemukalan itu, percikan akan terbang bebas. Tak pelak, jika sial, kulit si pandai besi pun melepuh. Tak hanya sampai di situ, akibat memegang godam yang berat, tangan pandai besi pun mengeras, istilahnya kapalan.
“Tangan kita jadi sangat kasar kayak karang. Kadang malu juga, apalagi kalau salaman dengan pejabat,” kekeh Hamid lagi.  (mag-3)

No comments: