Monday, July 23, 2012

Meneruskan Tradisi Endatu Sebagai Pandai Besi

PAGI itu matahari belum terlalu tinggi, gampong Lamblang Manyang, Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar yang terletak di pinggiran kota Banda Aceh pun terasa lengang. Beberapa warga terlihat sedang memanen padi di Sawah. Suasana lengang berubah bising ketika The Atjeh Post sampai di sebuah gubug beratap rumbia tanpa dinding. Lantainya berupa tanah yang warnanya sudah menghitam karena bercampur dengan abu yang berasal dari arang tempurung kelapa. Di sekelilingnya sampah-sampah yang berasal dari serbuk kayu bertebaran.
Suara-suara besi ketika dipalu terdengar sangat bising, namun tidak bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari profesi tersebut. Suara-suara itu tak ubahnya bagai simfoni yang mampu memantik semangat mereka dalam bekerja. Lidah api dari dapur menjulur-julur memanaskan besi-besi yang siap dibentuk.
Di gubug itulah setiap harinya sebanyak 12 orang lelaki dewasa warga Lamblang Manyang yang diketuai oleh Sulaiman, menjalani profesinya sebagai pandai besi. Di tangan mereka besi-besi disulai menjadi parang, pisau, linggis, arit dan berbagai peralatan lainnya.
Di dalam gubug ada enam dapur yang mereka fungsikan untuk membakar besi yang akan diolah maupun dipotong. Besi-besi itu dibakar dengan arang dari tempurung kelapa. Di sampingnya tiang dari besi dipancang di tanah, sebagai alas ketika mereka memalu besi-besi yang sudah dibakar tersebut.
Perlengkapan produksi tersebut umumnya adalah peninggalan dari pada pendahulu mereka.
Bila kita datang ke gampong Lamblang Manyang, gubug-gubug serupa bertebaran di tanah-tanah penduduk, itu adalah pemandangan yang umum karena 80 persen masyarakat Lamblang Manyang berprofesi sebagai pandai besi. Sedikitnya ada lebih dari 20 gubug pandai besi di wilayah tersebut. Sisanya sebagai petani dan pegawai pemerintahan maupun swasta.
Gubug yang diketuai oleh Sulaiman ini adalah salah satu gubug yang ada di Lamblang Manyang. Usianya sudah mencapai ratusan tahun, dan termasuk yang paling tua di desa itu. Kepada The Atjeh Post Sulaiman (55) mengatakan bahwa gubug ini sudah ada sejak dari kakek buyutnya dahulu. “Usianya sekitar seratus lima puluh tahun, kalau ada yang rusak kami tinggal perbaiki saja dan biayanya ditanggung bersama-sama,” katanya, Selasa, 20 Maret 2012.
Menurut Sulaiman, pandai besi di Lamblang sudah ada sejak zaman Belanda. Bukan hanya ada dikampungnya saja, para pandai besi juga ada di desa Lagang dan desa Lamblang Trieng tetangga kampung mereka.
Peralatan dari besi yang diproduksi masyarakat Lamblang sudah sangat terkenal kualitasnya. Di seluruh pasar di Banda Aceh, barang-barang sejenis yang dijual adalah barang-barang yang diproduksi oleh masyarakat Lamblang. Mereka memberinya label LB atau Lamblang. Sisanya adalah barang-barang dari Sigli dan daerah lainnya.
Tidak hanya dijual di Banda Aceh barang-barang dengan merek LB juga dijual ke seluruh Aceh. Mengenai harga, barang-barang merk LB memang lebih mahal lima puluh persen dari barang-barang produksi dari daerah lain.
Untuk sebilah parang Sulaiman menjual ke agen 80 ribu rupiah, pisau berkisar antara 10 sampai 25 ribu, linggis 20 ribu, dan penggali tanah 60 ribu. Sedangkan barang-barang produksi daerah lain hanya dijual setengahnya saja. “Produksi kami memang lebih mahal, karena kualitasnya bagus, besi yang kami pakai besi per mobil,” kata Sulaiman.
Untuk setiap barang-barang tersebut Sulaiman dan pengrajin memang mendapatkan keuntungan yang lumayan besar.  Berkisar antara 40 sampai 50 persen per bilahnya.
Besi-besi tersebut didapatkan Sulaiman dari penyalur khusus dengan harga bervariasi, mulai dari empat ribu sampai delapan ribu rupiah per kilogramnya. Dalam satu kilo besi setidaknya bisa menghasilkan dua parang berukuran sedang.
Bila dilihat dari persentase keuntungan profesi ini memang sangat menggiurkan. Namun keuntungan itu menurut Sulaiman tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang mereka habiskan.
Karena semuanya dilakukan secara manual, setia harinya mereka hanya bisa memproduksi dua bilah parang.. Jika mereka memulai lebih awal paling banyak mampu menyelesaikan tiga bilah parang. Sedangkan pisau bisa mencapai lima bilah setiap harinya.
“Yang kami utamakan adalah kualitas parangnya, memang agak lama tetapi pembeli akan merasa puas dengan barang produksi kami,” kata Sulaiman yang memberi label SLM untuk barang produksinya.
Keahlian membuat parang mereka dapatkan secara turun temurun dari orang tua mereka. Mayoritas masyarakat Lamblang memiliki keahlian mengolah besi, dan dari sanalah mereka memenuhi kebutuhan hidup dari waktu ke waktu.
Tidak hanya membuat parang dan pisau saja, kadangkala Sulaiman juga menerima tempahan membuat pedang dengan panjang mencapai 70 cm. Namun membuat pedang menurutnya tidak secepat membuat parang, waktunya bisa sampai berminggu-minggu karena pedang menggunakan gagang dari tanduk.
Tanduk yang dipakai pun tidak boleh sembarang tanduk, harus tanduk kerbau betina.
Mencari tanduk kerbau pun bukan perkara mudah, dan harganya lumayan mahal. Satu buah tanduk harganya berkisar 50 ribu rupiah. “Kalau tanduk kerbau jantan tidak bisa, karena di dalamnya ada daging semua, setelah dibakar tanduk akan kosong jadi tidak bisa ditancapkan sebagai gagang pedang,” kata Sulaiman.
Ini lah yang membuat harga tempahan pedang menjadi mahal, sebilah pedang dengan ukuran panjang 60 centimeter harganya bisa mencapai antara 300 sampai 350 ribu rupiah. Untuk pedang,  Sulaiman juga sering menggunakan besi bekas dari mata chain saw.
Di pasaran menurut ayah dari delapan orang anak ini, sudah banyak beredar barang-barang berlabel LB yang bukan produksi masyarakat Lamblang Manyang. Ternyata tidak hanya lirik lagu yang dijiplak, parang juga.(AP*IHAN NURDIN)

No comments: